Part 25

20 2 0
                                        

Pukul 17.40 wib Nayla keluar dari kantor bersama Ketrin. Keduanya sengaja menunggu sampai suasana di kantor lebih sepi. Hari ini Nayla bahkan dengan sengaja menghindari Alga. Bukan karena matanya masih sembab, melainkan untuk menenangkan diri sementara saja.

"Nggak mau pulang bareng gue, nih?" tanya Ketrin.

"Aku bawa motor sendiri, Ketrin," jawab Nayla entah untuk yang keberapa kalinya. Sebelumnya — saat masih berada di dalam ruangan. Ketrin juga menanyakan hal yang sama. Dan, jawaban Nayla tetap saja seperti saat ini — menolak.

"Emang mata lo bisa melek?" tanya Ketrin lagi.

Nayla menyipitkan mata, menatap Ketrin lebih tajam dari sebelumnya. Nayla rasakan matanya sedikit cukup berat — mungkin efek dari matanya yang sebelumnya, tapi bukan berarti ia akan tidur di jalan sambil berkendara. Ketrin terlalu mengada-ada saja.

"Ya udah kalau nggak mau," Ketrin menyelonong pergi. Namun, hanya beberapa langkah sebelum akhirnya dia berhenti. Nayla yang berjalan tepat di belakangnya ikut berhenti juga, menatap Ketrin sembari menghela napas.

"Apa lagi, Rin," ucap Nayla lelah dengan kelakuan Ketrin.

"Ya tuhan, ganteng banget, Nay," lirih Ketrin memandang lurus ke depan.

Nayla berkerut kening, mengikuti arah pandang Ketrin akhirnya yang seketika membuat tubuhnya mematung dengan arah pandangan yang sama.

"Itu artis bukan, sih?" tanya Ketrin melanjutkan. Nayla tidak menanggapi membuat Ketrin berbalik. Menyadari Nayla juga terpukau dengan ketampanan pria di depan sana, Ketrin pun berucap. "Uhm, lo, juga terpesona, kan," goda Ketrin, lalu menatap pria itu kembali. "Tapi ingat, Nay. Lo, udah punya Alga ... eh-eh, dia datang."

Ketrin tampak antusias. Buru-buru merapikan seragam kerjanya — menyunggingkan senyum ketika pria itu hampir sampai. Tiba di depannya Ketrin langsung angkat tangan — melambai pelan, tapi sesaat setelahnya justru tampak kebingungan sebab pria itu justru berhenti tepat di hadapan Nayla.

"Hai, apa kabar, Nay?"

Nayla berdiri mematung menatap pria di hadapannya dengan jantung berdegup kencang. Nayla tidak tau harus bereaksi bagaimana. Bahagia, atau justru bersedih? Tapi, tidak satu pun dari dua hal itu yang Nayla rasakan, melainkan kebingungan.

*

Nayla masuk ke dalam rumah — terburu-buru. Melepaskan tas tepat di saat pintu kamar tertutup. Nayla tidak tau harus bereaksi seperti apa ketika mendapati Damas berdiri tepat di hadapannya, hingga Nayla putuskan untuk melarikan diri saja.

"Nayla!"

Nayla tersentak — terkejut ketika namanya diserukan. Suara itu masih terukir jelas dalam ingatan. Tanpa melihat siapa. Nayla sudah tau jawabannya.

"Nay, keluar, Nay!"

Nayla menghela napas. Pikirannya terasa kosong seketika. Dulu, Nayla sudah menyiapkan banyak kata untuk melontarkan kekecewaan pada Damas, tapi setelah bertemu langsung dengannya, Nayla justru kehilangan suara. Tak tau harus berbicara apa. Terlebih lagi ketika Nayla mengingat perkataan dari Ayah Damas. Nayla semakin kebingungan saja.

"Nay!"

Nayla tersentak kaget ketika pintu kamarnya terbuka tanpa ketukan terlebih dahulu. Saat melihat bunda Midar yang berdiri di sana, seketika Nayla menghela napas.

"Itu di depan," Bunda Midar mengarahkan telunjuknya ke belakang tubuh — arah keluar, "Damas, kan?" tanyanya.

Nayla menatap sayu sang bunda, lalu menghela napas setelahnya.

"Kapan dia pulang?" tanya Bunda Midar, lalu meralat pertanyaannya. "Maksud Bunda, dia ngapain ke sini? Bukannya kalian udah selesai. Apa Ibunya nggak ngomong apa-apa."

Nayla menggeleng tanda tidak tau, membuat Bunda Midar menghela napas.

"Ya udah ditemuin aja," ucap bunda Midar menyarankan. Nayla berkerut kening — terkejut mendengarnya. "Nggak ada pilihan lain, kan, Nay. Seenggaknya kamu jelasin sama Damas tentang hubungan kalian sekarang. Atau kamu masih mau memberi Damas kesempatan?"

Nayla lagi-lagi diam, tak bisa memberikan jawaban.

"Seperti yang udah Bunda dan Ayah jelaskan. Kami sebagai orang tua hanya bisa mendukung apa pun keputusan kamu. Apa yang menurut kamu baik, lakukan, Nak. Jangan buat hidup kamu sulit."

Nayla menghela napas — tampak berpikir. Entah apa yang saat ini diinginkan oleh hatinya. Melanjutkan rencana pertunangan dengan Alga, atau justru memberi Damas kesempatan? Bagaimana pun yang terjadi selama 3 tahun ini tidak sepenuhnya kesalahan Damas. Tapi, tetap saja Nayla merasa tidak rela jika harus dengan mudah memperbaiki hubungan itu.

"Nayla!"

Nayla dan bunda Midar menoleh kearah luar, meski tidak melihat Damas di sana.

"Temuin, Nay," ucap bunda Midar lagi, "nggak enak kalau tetangga pada lihat. Belum lagi orang tua Damas. Nanti dikirain ada apa-apa."

"Tapi, Bun—"

"Bicarain yang penting-pentingnya aja," sela bunda Midar.

Untuk sesaat Nayla hanya termenung — berpikir. Akhirnya memutuskan untuk mengikuti perkataan sang bunda. Nayla bangkit dari duduknya, menghela napas, lalu berjalan keluar. Setibanya di sana, Nayla langsung dapati penampakan Damas yang tampak gelisah. Berjalan mondar-mandir tak tentu arah. Namun, ketika Damas melihat Nayla berdiri di depan pintu, ia langsung berhenti — tersenyum lebar menatap Nayla.

"Nay—"

"Kita bicara besok aja, ya," sambar Nayla tidak mengizinkan Damas bicara, "hari ini ada kerjaan yang harus aku selesaiin," jelasnya sebelum Damas bertanya kenapa.

"Besok pagi?" tanya Damas, lebih tepatnya meminta dan mengharapkan.

Nayla menghela napas, akhirnya mengangguk juga. Setidaknya dengan itu Damas bisa pergi — kembali ke rumahnya.

Damas berjalan menghampiri Nayla — berniat untuk memeluknya, tapi sebelum hal itu terjadi Nayla lebih dulu menarik diri — mundur ke belakang. Sadar Nayla menolak, Damas memutuskan mundur. Meski pun begitu tak sekali pun tersinggung, justru tersenyum lebar.

"Kalau begitu aku pulang dulu," ucap Damas, saat hendak berbalik ia teringat satu hal. "Oh, aku lupa. Simpan nomor kamu." Damas menyerahkan ponselnya pada Nayla.

Sesaat Nayla menatapi saja ponsel Damas. Ponsel dengan merk berbeda, lebih mahal dari ponsel miliknya 3 tahun yang lalu.

Damas menelengkan kepala, menatap Nayla lalu menyapanya. "Nay."

Perhatian Nayla langsung teralihkan. Tanpa menunggu lebih lama lagi Nayla mengambil alih ponsel Damas, lalu mengetikan nomornya di sana. Setelahnya menyerahkan ponsel itu kembali pemiliknya.

"Aku simpan, ya," ucap Damas, dan setelahnya menghadapkan layar ponsel itu pada Nayla — memperlihatkan nama yang tersimpan di sana.

Calon Istri.

Nayla tertegun, menatap Damas mematung. Sedangkan Damas justru tersenyum, lalu menyimpan kembali ponselnya dalam saku celana.

"Sampai jumpa besok," Damas melambaikan tangan, lalu berjalan meninggalkan rumah Nayla — menuju rumahnya.

Kepergian Damas tidak membuat Nayla lantas beranjak dari tempatnya. Di sana — di tempatnya berdiri Nayla mematung.

Ujian apa lagi sekarang yang Nayla hadapi?

Nayla menghela napas sembari memejamkan mata. Berusaha menenangkan debaran jantung yang sejak tadi menyesakkan dada.

Nayla merasa bingung, bahkan sebelum bertemu Damas. Entah apa yang harus ia bicarakan besok. Apakah harus jujur tentang hubungan mereka, atau justru diam saja. Bukankah kehadiran Damas adalah momen yang Nayla nanti-nantikan?

Nayla kembali menghela napas. Entah mengapa kedua keputusan itu terasa berat untuk ia lakukan.

***

Damas kembali. Gimana dong?!

DERMAGA PENANTIAN.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang