Ketrin mendongak, mengalihkan pandangannya dari layar komputer di depannya, beralih ke atas meja, menatap plastik bertuliskan thank you di sana.
"Apaan, nih?" tanya Ketrin menoleh sekilas pada Nayla sembari meraih sesuatu yang dibungkus oleh sebuah plastik. Membuka pengikatnya, dan melihat isi di dalamnya. "Dress?" tanya Ketrin keheranan. "Buat gue?" tanyanya lagi memastikan dengan wajah heran.
Nayla mengangguk.
"Ah, seriusan lo?" Ketrin tidak percaya, "gue nggak suka dimainin kayak gini, ya."
Nayla diam saja, tidak berniat memberikan penjelasan, hanya memandangi Ketrin biasa saja.
"Beneran buat gue?" tanya Ketrin, meyakini jika dress itu memang Nayla berikan untuknya. "Tapi gue nggak lagi ulang tahun."
"Emangnya harus nunggu kamu ulang tahun dulu, baru bisa kasih sesuatu?" Nayla balik bertanya.
"Enggak, sih," sahut Ketrin cengengesan, "cuma gue bingung aja. Tumben-tumbenan amat lo ngasih gue beginian."
"Ya kali, aku harus ngasih kamu dress tiap hari," kata Nayla, "emangnya kue dadar," tambahnya sedikit pelan sembari mengalihkan pandangan.
Ketrin tertawa saja. "Makasih, ya ... dress-nya bagus," katanya, "tapi desainnya, kayaknya gue belum pernah liat," Ketrin meluruskan tangannya ke depan, memperhatikan dress di hadapannya saat ini. "Lo yang desain sendiri, Nay?" tanya Ketrin menoleh pada Nayla kemudian.
Nayla diam sesaat. Malas untuk menjelaskan, namun tetap ia harus mengangguk.
"Cantik," kata Ketrin memuji, "lo punya bakat jadi desainer kayaknya."
Nayla tidak menyahut, hanya tersenyum sebagai tanggapan. Ketrin melipat dress itu meski tidak cukup rapi, menyimpannya dalam pembungkus plastik itu kembali.
"By the way, lo nggak makan siang?" tanya Ketrin menatapi Nayla yang tampak melamun.
"Ha, itu ... niatnya aku ke sini emang mau ngajak kamu makan bareng," sahut Nayla.
"Sorry, Nay, tapi gue nggak bisa," kata Ketrin merasa bersalah, "kerjaan gue menumpuk ... lo makan siang sendiri dulu, ya," tambahnya.
Nayla terdiam. Merasa malas kalau harus makan siang sendiri. Teman-temannya yang lain juga sudah lebih dulu pergi. Ditambah lagi setelah kedatangan Ketrin, Nayla jarang makan siang bersama dengan mereka. Khawatir jika Nayla ikut bergabung, ia akan merasa canggung nantinya.
"Kalau gitu, aku nggak jadi makan deh," kata Nayla mengejutkan Ketrin. Merasa bersalah, sebab sesibuk apa pun Nayla, wanita itu tetap meluangkan waktunya untuk Ketrin.
"Jangan gitu dong, Nay ... nggak enak gue," Ketrin sungkan sendiri, "kalau enggak, lo makan sama," Ketrin yang tengah memperhatikan sekitarnya, tertegun mendengar suara yang menyela perkataannya.
"Sama saya aja."
Ketrin menoleh ke arah sumber suara. Terkejut, spontan ia berdiri dari duduknya. Menundukkan kepala bersamaan dengan Nayla memberi hormat.
"Siang, pak," sapa Ketrin, sedangkan Nayla hanya diam saja. Memperhatikan pria yang sudah beberapa hari ini tidak lagi ia temui untuk menjemputnya di telaga. Mungkin karena Nayla tidak pernah lagi ke sana.
Menoleh, pria yang disapa oleh Ketrin hanya tersenyum saja.
"Gimana?" tanyanya pada Nayla.
"Mau, Pak, mau."
Bukan Nayla, melainkan Ketrin yang menjawab pertanyaan Alga. Nayla berniat protes, tapi Ketrin lebih dulu menjelaskan.
"Gue nggak bisa, Nay, serius," bisiknya, "lo sama pak Alga aja," tambahnya.
Nayla menghela nafas kasar, memandang Ketrin kesal. Nayla pun tidak berniat menolak tawaran dari Alga, hanya saja jika tawaran itu ia terima, akan ada gosip miring tentang mereka berdua nantinya. Bukan hanya di kantor. Gosip itu pun akan menyebar ke seluruh desa, sama seperti berakhirnya hubungan Nayla dan Damas. Dengan cepat berita itu tersebar hanya dalam hitungan satu malam saja.
________
Nayla keluar dari kamar berniat menghampiri motornya untuk berangkat bekerja. Rutinitas yang selalu ia jalani setiap lima hari dalam seminggu.
Tiba di ruang depan, Nayla tidak mendapati motornya di sana. Tersadar jika ia belum mengambil motornya di bengkel, yang juga berhasil mengingatkannya dengan kejadian kemarin sore.
Seketika perasaan Nayla terasa kacau, sama kacaunya dengan kemarin, yang menjadi penyebab Nayla tidak mampu memikirkan apa pun selain perasannya.
Segera Nayla berpamitan dengan Bunda Midar dan sang Ayah. Berjalan ia keluar rumah menuju bengkel untuk mengambil motornya.
"Pagi Om Surya," sapa Nayla begitu tiba di bengkel, melihat sang mekanik tengah memperbaiki motor salah satu pelanggan. "Motor, Nay, udah beres?" tanyanya kemudian.
"Eh, pagi, Nay," balas Om Surya, "beres dong, dari kemarin malahan."
Nayla tersenyum saja, mengulurkan selembar uang sepuluh ribu dan menyerahkan pada Om Surya.
"Bentar ya, Nay. Om, keluarin motornya dulu," kata Om Surya setelah menerima bayaran dari Nayla.
Nayla mengangguk. Memperhatikan Om Surya yang mulai mengeluarkan motornya dari dalam ruang bengkelnya, dan membawa motor itu tepat ke dekat Nayla.
"Makasih, Om," kata Nayla, mulai menaiki motornya dan menyalakan mesinnya. Saat hendak berangkat, suara wanita menyapa, membuat Nayla mengalihkan perhatiannya.
"Loh, Nayla," kata wanita itu berjalan menghampiri, "motornya baru diambil?"
"Iya, buk, kelupaan kemarin," sahut Nayla.
Wanita itu mengangguk penuh arti, membuat Nayla merasa tidak nyaman saja. Nayla hendak menghindar, tapi suara wanita itu kembali menegurnya.
"Kamu beneran putus sama Damas, Nay?"
Nayla terdiam, memandang wanita di dekatnya itu penuh keheranan. Namun sadar jika di tempat ia tinggal selalu seperti itu. Sebuah berita tentang kehidupan orang lain lebih menarik untuk dibahas.
"Putus kenapa, Nay?" tanyanya lagi, Nayla tetap diam saja, wanita itu kembali melanjutkan. "Benerkan dugaan ibu, hubungan kalian itu nggak bakalan bertahan lama ... tapi ya, emangnya boleh memutuskan hubungan hanya diketahui sebelah pihak aja?" tanyanya tampak penasaran.
"Kamu ngurusin hidup orang itu buat apa?"
Kepala Nayla tertoleh ke samping, menatap Om Surya yang sudah kembali memperbaiki motor pelanggannya.
"Mau mereka putus atau enggak, itu bukan urusan kamu," lanjut Om Surya, "mendingan kamu buatin aku teh ... dari bangun tidur sampai sekarang aku belum liat teh terhidang di sini."
Wanita itu tampak meradang mendengar perkataan Om Surya. Meski kesal, wanita itu berjalan masuk ke dalam rumah. Menyiapkan minuman yang dipinta oleh suaminya.
"Maafin ibu ya, Nay ... jangan dimasukin ke hati omongannya," kata Om Surya penuh perhatian.
"Iya, Om, nggak pa-pa," kata Nayla, "kalau gitu, Nay, berangkat dulu ya Om."
Om Surya mengangguk. Nayla mulai menjalankan motornya melintasi jalanan. Dalam pikiran tidak menyangka jika berita hubungannya yang sudah berakhir dengan Damas akan menjadi pusat perhatian. Namun hal itu sama sekali tidak mengejutkan. Sudah menjadi hal yang biasa jika masalah seseorang menjadi bahan perbincangan di desanya. Terlebih lagi hubungan Nayla yang terkesan penuh tantangan. Tentu siapa saja akan merasa tertarik untuk membahasnya. Hanya saja kali ini, Nayla membutuhkan kekuatan mental yang lebih. Terlebih lagi untuk mengobati luka akibat sebuah kekecewaan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
DERMAGA PENANTIAN.
RandomNayla Amira, gadis berusia 27 tahun. Tiga tahun hidupnya, ia habiskan hanya untuk menantikan kepulangan sang kekasih. Sampai ia tidak menyadari telah tenggelam dalam sebuah harapan dan mengabaikan kehidupannya. __________ Alga Wijaya, pria berusia...