"Jadi gimana, Nay?"
Nayla mengangkat pandangan untuk melihat Alga yang baru saja melontarkan pertanyaan. Nayla baru saja menyelesaikan makannya, meletakkan sendok dan garpu di atas piring yang kini sudah kosong.
Nayla mengernyit samar, sama sekali tidak mengerti dengan pertanyaan yang Alga berikan, pria itu sama sekali tidak menjelaskan apa maksud dari pertanyaan itu.
"Gimana apanya, Mas?" Nayla balik bertanya, benar-benar tidak paham maksud dari pertanyaan Alga.
"Aku suka kamu, Nay," Alga mengulang kembali kata-kata yang sudah beberapa hari berlalu tak pernah ia bahas. Sedangkan Nayla hanya bisa terdiam, menatap Alga tampak kebingungan.
"Bukannya kamu bilang nggak bakalan maksa aku buat jawab, Mas," balas Nayla pelan, ia ingat jelas saat Alga mengungkapkan perasaannya dan mengatakan tidak akan memaksa Nayla untuk membalas perasaan itu. Tapi, hari ini Alga justru membahasnya.
"Ya, niatnya juga begitu," sahut Alga kemudian, "tapi ternyata aku nggak sanggup, Nay ... aku takut kehilangan kamu."
Nayla terdiam, membalas tatapan Alga tanpa ekspresi. Bingung juga harus berkata apa, sebab pembahasan saat ini berhubungan dengan perasaan.
Alga menghela nafas dalam dengan kepala tertunduk. Tak lagi menatap Nayla, dan justru sibuk dengan pikirannya.
"Kamu mau dikenalin sama Baim, kan?" tanya Alga, lalu mengangkat kepala kembali menatap Nayla.
Nayla tercengang, sepasang alisnya terangkat penuh tanya. Bagaimana Alga bisa mengetahui hal itu? Apakah dari sang Ayah? Nayla menggelengkan kepala. Tidak mungkin sang Ayah menceritakan hal itu kepada orang lain, terlebih lagi Alga, yang merupakan atasannya.
"Entah kenapa setelah mengetahui hal itu aku jadi takut, Nay," lirih Alga, "aku takut kalau pada akhirnya kamu justru memilih dia, bukan aku."
"Kenapa kamu merasa begitu?" tanya Nayla justru penasaran dengan penilaian Alga kepada Baim — pria yang beberapa hari lalu ingin dikenalkan oleh orang tuanya.
"Baim, dia pria yang tampan," aku Alga, Nayla manggut-manggut menyetujui, sebab sebelumnya juga sudah melihat pria itu melalui album. Alga menghela nafas menyadari Nayla juga membenarkan perkataannya. Meski pun begitu Alga tetap melanjutkan. "Dia juga pria yang pintar, bertanggung jawab atas pekerjaannya, pintar bergaul, dan juga ... baik."
Nayla mengernyit samar, menatap Alga dengan sepasang mata menyipit penuh curiga. "Kenapa aku merasa justru kamu yang suka sama dia, Mas," ucapnya.
Tentu Nayla merasa curiga. Meski Alga tidak mengatakan jika ia merasa tersaingi oleh Baim, tapi selayaknya seseorang yang memiliki tujuan yang sama tentu sedikitnya akan mengatakan keburukan lawannya untuk meraih posisi paling depan. Namun, Alga justru berbeda. Pria itu mengungkapkan apa yang menurutnya benar saja.
Alga tercengang seketika, menyadari jika Nayla mencurigainya, Alga justru tertawa.
"Itu jujur, Nay," ucapnya, "dan karena itu juga kedua orang tua kamu ingin kalian saling mengenal."
"Tapi, aku sama sekali belum kenal dia, Mas," aku Nayla, beberapa hari yang lalu kedua orang tuanya hanya memperkenalkan pria bernama Baim itu hanya melalui gambar wajah, dan sampai saat ini belum ada kepastian kelanjutannya.
"Kalian bisa kenalan nanti," balas Alga, Nayla manggut-manggut, dan sesaat kemudian Alga terdiam — menatap Nayla tercengang. Ia sama sekali tidak menyadari perkataan yang terlontar dari mulutnya. "Maksudku bukan begitu, Nay ... justru kalau bisa—"
"Iya-iya aku paham," sahut Nayla menyela kekhawatiran yang disebabkan oleh Alga sendiri.
Alga menghela nafas, merasa lega seketika. Namun, itu hanya sesaat sebelum Nayla kembali berkata.
KAMU SEDANG MEMBACA
DERMAGA PENANTIAN.
RandomNayla Amira, gadis berusia 27 tahun. Tiga tahun hidupnya, ia habiskan hanya untuk menantikan kepulangan sang kekasih. Sampai ia tidak menyadari telah tenggelam dalam sebuah harapan dan mengabaikan kehidupannya. __________ Alga Wijaya, pria berusia...