Makasih banyak buat yang masih nungguin Nayla. Maaf gak bisa update seperti apa yang diinginkan TT
Happy reading...
***
Nayla mengurungkan niatnya untuk melangkah masuk, dan justru memutuskan menghampiri pria di depan rumah Damas. Saat Nayla semakin dekat dan berdiri di hadapannya, pria itu lantas menyunggingkan senyum tulus, tapi dari sepasang matanya terlihat jelas kesedihan mendalam di sana. Sampainya di sana, Ayah Damas langsung mengajak Nayla duduk di gazebo depan rumahnya.
"Maafin, Bapak dan Ibu, ya, Nak," lirih pria itu. Pria berhati lembut seperti Damas. Ya, pria itu adalah Ayah Damas. "Karena Ibu, kamu jadi seperti ini."
Aku mengedip-edipkan mata sembari menatap ke arah lain, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang untuk tidak jatuh.
"Bapak dan Ibu nggak salah apa-apa kok. Cuma Nayla aja yang nggak sanggup nungguin Damas," ucap Nayla berusaha menenangkan rasa bersalah Ayah Damas. Sebentar lagi Nayla akan membuka lembaran baru, ia tidak ingin hubungannya dengan keluarga Damas mengusik ketenangannya. Menghancurkan segala rencananya.
Ayah Damas mengulurkan tangan — mengusap puncak kepala Nayla. "Bapak sangat berharap kamu yang mendampingi Damas," ucapnya, lalu menarik tangannya dari kepala Nayla dan digenggam erat, "tapi kalau pada akhirnya jadi seperti ini. Apa boleh buat. Bapak berharap kamu bahagia."
Nayla tersenyum dan mengangguk.
"Setiap orang tua menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Akan tetapi, cara Ibu salah mengekspresikan rasa kasih sayangnya. Bukannya menyelamatkan kebahagiaan putranya, dia justru membuat alasan putranya bertahan pergi."
Nayla berkerut kening, sama sekali tidak mengerti. "Maksud Bapak apa?" tanyanya.
Ayah Damas menghela napas, tampak jelas rasa bersalah itu di sana. "Sebenarnya setelah sampai di Singapura, Damas langsung menelepon. Ponselnya hilang di perjalanan. Karena kamu menggunakan nomor baru, Damas tidak ingat. Itu sebabnya sesampainya di sana, orang pertama yang Damas hubungi adalah Bapak, tapi yang saat itu menjawab Ibu. Sebenarnya Damas juga ingin berbicara sama kamu, tapi Ibu bilang kamu lagi kerja. Jadi, Damas tidak memaksa.
"Berulang kali Damas menghubungi, bahkan sampai sekarang. Selama itu juga dia menanyakan kabar kamu, tapi Ibu..." Ayah Damas menghela napas jelas sangat menyesal, "justru memberikan alasan yang sama. Ketika Damas meminta nomor kamu, Ibu justru mengatakan kalau Damas sebaiknya fokus bekerja kalau benar-benar ingin menikahi kamu. Berbicara dengan kamu cuma akan mengusik konsentrasinya.
Aku terdiam, cukup syok mendengar pengakuan ayah Damas. Jadi, selama ini Damas tidak melupakan Nayla, melainkan kabar Damas disembunyikan darinya.
"Kenapa Bapak nggak bilang sama Damas kalau setiap saat, setiap hari aku selalu menunggu kabarnya. Menunggu dia pulang."
Sepasang mata Nayla berlinang saat bayangan kerinduan Damas di sana berputar di kepalanya. Rasa sakit menahan rindu seperti apa yang ia rasakan. Ternyata Damas juga merasakannya. Nayla seketika terasa sesak. Tak sadar air mata sudah menetes saja. Selama 3 tahun Nayla menunggu kabarnya. Menunggu janji Damas yang akan segera kembali dan menikahinya. Berpikir setelah sampai di perantauan Damas melupakannya, tapi kenyataannya justru kabar Damas yang ditahan agar tidak sampai ke telinganya membuat Nayla berhasil menyimpan rasa kecewa.
"Bapak mau bilang, tapi Ibu tidak mengizinkan. Dengan beralaskan agar Damas fokus bekerja dan cepat pulang, dan juga bisa segera menikahi kamu. Karena niat awal Damas pergi adalah mencari modal untuk biaya pernikahan kalian. Dengan bodohnya Bapak justru percaya dengan perkataan Ibu, dan akhirnya menyakiti kamu, dan akan segera menyakiti Damas." Ayah Damas tertunduk lesu.
KAMU SEDANG MEMBACA
DERMAGA PENANTIAN.
RandomNayla Amira, gadis berusia 27 tahun. Tiga tahun hidupnya, ia habiskan hanya untuk menantikan kepulangan sang kekasih. Sampai ia tidak menyadari telah tenggelam dalam sebuah harapan dan mengabaikan kehidupannya. __________ Alga Wijaya, pria berusia...