Cerita ini kemungkinan bakalan aku alihkan. Jadi sebelum itu terjadi, aku update di sini dulu(◍•ᴗ•◍)❤
Happy Reading yaa...
___________________________________________
Tiga tahun yang lalu...
Nayla menatapi Damas yang tengah melamun, entah memikirkan apa. Mengabaikan nasi goreng yang kini sudah tersedia di atas meja di hadapannya.
Ia ingin mengabaikan. Tapi tetap saja pandangannya tertoleh pada pria yang tengah memainkan nasi di depannya dengan sendok.
"Kamu kenapa, sih, Dam?" tanya Nayla akhirnya. Ia tidak bisa berdiam diri saja sebab pemandangan di hadapannya itu sangat meresahkan. "Kamu mikirin apa?" tanya Nayla lagi setelah tidak mendapat jawaban dari Damas.
"Nay," Damas meletakkan sendok di tangannya ke atas piring, benar-benar mengabaikan nasi goreng itu sekarang, "kamu pernah kepikiran buat nikah nggak?" tanyanya. Bukannya menjawab pertanyaan Nayla, pria itu malah balik bertanya.
Nayla merasa sungkan untuk membahasnya. Tapi karena Damas sendiri yang memulainya lebih dulu, maka Nayla hanya perlu menjawab. "Pernah," jawabnya sembari mengangguk.
"Kamu mau nikah?" tanya Damas lagi.
Nayla berkerut kening. "Sebenarnya kamu mau bahas apa, sih?"
Damas menghela nafas. "Akhir-akhir ini aku kepikiran buat nikah sama kamu Nay ... kamu pasti kepikiran juga, kan?" tanyanya lagi.
Nayla tersenyum. "Umurku udah 24 tahun, Dam ... bohong kalau aku bilang nggak kepikiran," ucapnya.
"Aku mau merantau, Nay."
Nayla tertegun, memandang Damas bingung. Apa hubungannya merantau dengan membahas pernikahan?
"Aku mau cari modal, sekalian buat biaya pernikahan kita," lanjut Damas menjelaskan, "aku mau mewujudkan pernikahan impian kamu."
"Kenapa harus merantau? Kenapa nggak kerja di sini aja?"
"Kamu, kan, tau gaji di sini nggak seberapa, Nay ... belum lagi aku harus bantu biaya kehidupan kami ... uang yang didapat nggak bakalan cukup, Nay."
Nayla diam saja. Tidak tau harus menjawab apa.
"Cuma setahun sampai dua tahun aja, Nay ... setelah uangnya terkumpul, aku pulang dan ngelamar kamu."
"Ibu sama Bapak kamu nggak bisa bantu?" tanya Nayla, membayangkan jauh dari Damas saja ia tidak sanggup, "maksudku bukan minta, tapi minjam ... aku bakal bantu kamu mulangin uang itu nanti setelah kita nikah."
"Andai bisa begitu, Nay," lirih Damas, meski tidak menjelaskan Nayla sudah tau apa maksudnya.
"Berangkatnya kapan, kalau kamu pergi?" tanya Nayla setelah diam beberapa saat.
"Lusa," sahut Damas, "aku berangkat bareng Rusli," tambahnya kemudian.
Nayla diam. Lagi. Tidak tau harus bicara apa. Damas tampak tertekan. Mungkin benar-benar memikirkan kelanjutan hubungannya dengan Nayla, dan kehidupan keluarganya.
"Pergilah," ucap Nayla pelan. Dengan berat hati ia mencoba mengizinkan.
"Kamu ngizinin aku?" tanya Damas memastikan.
Nayla mengangguk. "Iya."
Damas merasa terharu, ia genggam tangan Nayla lembut. "Terima kasih, Nay ... aku bakalan kerja dengan giat supaya bisa pulang cepat dan segera menikah sama kamu."
Nayla tersenyum saja, lalu mengangguk.
Dua hari telah berlalu. Saat ini Nayla sedang berada di rumah Damas, berkumpul dengan keluarga Damas untuk mengantar kepergian pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
DERMAGA PENANTIAN.
RandomNayla Amira, gadis berusia 27 tahun. Tiga tahun hidupnya, ia habiskan hanya untuk menantikan kepulangan sang kekasih. Sampai ia tidak menyadari telah tenggelam dalam sebuah harapan dan mengabaikan kehidupannya. __________ Alga Wijaya, pria berusia...