Mendekati subuh, Fania dan Zuhroh terbangun begitu saja. Sekarang, tubuhnya seperti punya alarm tersendiri yang membuat keduanya bangun persis jam Empat subuh.
Belum lagi, tanpa keduanya sadar, fisik mereka kini jauh lebih kuat sebab rajin olahraga dan berlatih.
Tak hanya itu, rasa disiplin, cara makan, berdiri, kesetiaan dan ketaatan tampaknya mulai nempel di hati dan pikiran mereka setelah dilatih sedemikian keras. Hanya rasa kemanusiaan saja yang masih minim.
"Eh, pak. Lihat Mayor Rega, nggak?"
Seorang prajurit yang bahunya ditepuk tiba-tiba menoleh. "Tidak, Bu."
Zuhroh melotot tak terima. "Ibu?!Emang gue setua itu?!" teriaknya, setengah dongkol. "Nona, kek! Eneng, kek!"
Fania menghela nafas. "Kalau Kapten Hamdan, gimana?"
"Tidak juga." sahut prajurit tersebut, kaku sekali.
Aneh sekali, sejak malam kedua Buto ijo itu menghilang dari peradaban. Keduanya saling tatap, lantas memutuskan untuk siap-siap bersih-bersih.
Tapi, saat selesai senam pun, kedua orang ngeselin itu tak muncul juga. Fania dan Zuhroh duduk di bawah pohon dengan raut bosan. Menonton para prajurit yang lanjut latihan. Kali ini, mereka dibebaskan dari tugas-tugas.
Alih-alih girang, keduanya malah terdiam tanpa tahu apa yang harus di lakukan.
Ngapain, yak? Selama ini, hiburan mereka kan cuma menjahili dan membuat Hamdan serta Rega pecah kepala. Tak seru hari-hari tanpa mangsa. Nggak ada yang sukarela diisengin.
"Zuhroh, gue bosen banget." Fania menarik-narik rumput lapangan di depannya.
"Itungin rumput aja, Fan." balas Zuhroh, turut tak berselera.
Prajurit yang biasanya menjadi bestie mereka tengah menjalani pelatihan di luar markas. Jadi, tak ada yang bisa diajak main lagi. Duh, sementara yang lain begitu segan pada mereka.
"Apa yang kalian lakukan di sini?"
Fania dan Zuhroh yang semula sepet langsung bangkit seketika. Kaget betulan mendengar sebuah suara serak nan berat yang menegur.
Aru— salah seorang pengawas di sana yang kebetulan kenal dekat dengan Hamdan juga Rega menaikkan satu alisnya kala kedua gadis itu berdiri dengan sikap siap. Oh, mereka mulai memahami pelatihan rupanya.
"I-istirahat, pak!" jawab Fania, tergagap.
"Jawabannya masih salah."
Zuhroh meringis. Aru nih salah seorang yang menjadi mimpi buruk mereka. Laki-laki ini kelewat galak, tegas dan tak ada hati nuraninya. Dan Aru menjadi orang yang sangat mendisiplinkan mereka.
"Siap, istirahat, pak!" Zuhroh meralat ucapan sahabatnya.
Aru menghela nafas, kadang kala dia kasihan melihat dua gadis itu tampak linglung di markas. "Ayo ikut saya!"
"Siap!"
Fania dan Zuhroh membuntuti Aru kelewat dekat hingga laki-laki itu menoleh risih. "Jaga jarak kalian. Saya curiga kalian mau nusuk saya dari belakang."
Idih, PD gile! Kalau Zuhroh dan Fania sih maunya bikin Aru muntah paku. Andai saja Aru nih modelan Hamdan dan Rega, pasti kedua gadis itu sudah balik menyumpah.
"Mundur, Fan. Jangan deket-deket, ntar rabies." bisik Zuhroh dengan wajah julit.
Fania balas mencibir. "Gue juga ogah nempel ke siluman, Zuro. Mending gelendotan di ketek Lee Donghae."
Aru mengajak mereka ke area belakang markas. Nyaris paling belakang, di ujung sebelah kiri dekat semak-semak belukar yang sepertinya baru saja dibabat oleh prajurit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di bawah Pintu Pengabdian
SpiritualFania membenci Ayah nya karena tidak pernah ada untuknya, tetapi selalu berdiri paling depan untuk merah putih. Sedangkan Zuhroh tidak bersahabat dengan pekerjaan Papanya yang merupakan abdi negara, Zuhroh terlukai karena dari situ lah awal mula kes...