Di ruang tempat para prajurit makan, di mana meja-meja dan kursi-kursi berjejer panjang, Fania dan Zuhroh duduk tegak. Menunggu intrupsi selanjutnya. Di depan mereka nampan ompreng dengan isian lauk-pauk itu tampak menggoda.
Dengan sabar keduanya mengikuti peraturan. Sebelum makan, para prajurit harus melapor dan melakukan doa bersama. Karena Fania dan Zuhroh bengong, keduanya tidak sadar jika para prajurit telah duduk di kursinya.
"Eh, udah aamiin? Kok gue nggak denger doanya?" celetuk Fania.
Zuhroh tidak menyahut. Menarik tangan sahabatnya untuk cepat duduk dan makan. Karena kalau makan di sini, nggak boleh lelet! Ada saja yang dikomentari. Nggak boleh ini lah, itu lah. Atau jangan ini lah, itu lah. Ribet pokoknya.
Baru juga dipikirkan, salah seorang tukang ngomel itu mencubit lengan atasnya. Zuhroh mendelik, menoleh sengit ke samping dan menemukan Hamdan siap mengomel.
"Yang tegak, Zuro. Berapa kali harus dikasih tahu sih? Ini pinggangnya yang lurus! Duduk yang bener, Se-"
"Sendok yang ke mulut, bukan sebaliknya! Dasar bebek!" Tanpa diduga-duga, Fania menyela.
Dia hafal sekali kalimat Hamdan tersebut. Nyaris setiap mereka mau makan, Hamdan atau Aru selalu meneriaki kalimat yang sama.
Kebetulan kursi di samping Fania itu kosong. Hamdan meringsek duduk, menatap Fania yang sudah meliriknya judes.
"Kok kamu bisa baca pikiran saya tapi nggak peka sama perasaan saya? Ilmunya kurang kuat nih."
Fania langsung manyun. Menusuk telor bulat di piring besinya itu kuat-kuat.
Hamdan terkekeh geli, baru digodain gitu aja muka sudah Fania berubah sebal. Gemesin kan. Pengin gigit.
"Habiskan makanannya, habis ini latihannya sampe sore." kata Hamdan ketika Fania ogah-ogahan menyuap.
"Bosen, lauknya gini-gini aja."
"Makanan prajurit itu udah ditakar oleh ahli gizi lho, Fania. Dimasaknya juga dengan hati. Ditelan aja, nggak usah protes."
Fania melirik Hamdan dengan mata yang sedikit berbinar-binar. "Kapten, pengin ketoprak sama tunjang nasi padang."
"Nggak usah aneh-aneh." Hamdan buru-buru mengalihkan pandangannya, ngeri tersihir oleh sepasang mata bening yang sedang mencoba meracuni otaknya. "Itu habiskan cepat. Nanti latihan halang rintang, biar nggak lemes."
"Kalo gue berhasil ngelewatin rintangannya tanpa bantuan, beliin ya?" Fania masih mencoba nego.
Sumpil. Dia kangen banget sama ketoprak dan tunjang. Di sini mana ada tukang dagang. Gerobak mereka tak pernah sampai di atas.
"Paling baru lewatin beberapa halang rintang kamu merengek ketakutan ke saya."
"Demi makanan gue bisa tahan rasa takut, Hamdan!" Fania menyengir, lantas mengulurkan tangan. "Deal?"
Hamdan melirik telapak tangan Fania, tapi tidak menyambutnya. Sebaliknya, laki-laki itu mengusak kerudung Fania sebagai tanda persetujuan. "Deal." Lalu, laki-laki itu bangkit. "Kalau takut nggak usah dipaksa ya, sayang." bisiknya, menyeringai.
Usai Hamdan pergi memeriksa prajurit lain, Fania masih terdiam. Zuhroh yang melihatnya menghela nafas panjang. "Fania, elo jangan sampe kepincut demit macem Hamdan dong! Cita-cita kita kan nikah sama CEO. Lupa lo?"
"CEO mana yang demen kita, Zuhroh?"
Gantian Zuhroh yang terdiam. Nasib, pertanyaan Fania terasa nyelekit sekali di ulu ati.
***
Cape! Cape! Cape!
Fania sampai di titik halang rintang usai mendaki dan menuruni bukit. Dan lokasinya ternyata tak jauh dari Markas. Sialan, ngapain harus muter-muter dulu dari siang sampai sore kalau lokasinya itu deket sih? Bikin stamina Fania lenyap saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di bawah Pintu Pengabdian
SpiritualFania membenci Ayah nya karena tidak pernah ada untuknya, tetapi selalu berdiri paling depan untuk merah putih. Sedangkan Zuhroh tidak bersahabat dengan pekerjaan Papanya yang merupakan abdi negara, Zuhroh terlukai karena dari situ lah awal mula kes...