Berita mengenai kondisi Fania telah Hamdan laporkan kepada Panglima Faruq, ayah gadis itu. Jelas saja hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan. Dengan tenang meski hatinya ikut ketar-ketir menunggu respon Bapak Panglima, Hamdan menjelaskan kronologis kejadian.
"Dia tidak bermaksud kabur dengan kuda itu kan?"
"Tidak, pak. Menurut pengakuan Zuhroh, Fania hanya ingin berkuda saja. Sekali lagi saya minta maaf karena lalai menjaganya."
"Tidak sepenuhnya salah kalian, saya kenal anak saya." ucap Faruq bijak.
"Saya akan terus mengabarkan kondisi terkini, pak. Saat ini, Fania sedang tertidur setelah masuk ruang inap."
"Dengan siapa kau berjaga-jaga, Hamdan?"
"Dengan Mayor Rega dari Denjaka dan Kapten Aru dari Kopassus, Pak."
Terdengar helaan nafas yang panjang, rasa gusar dan gelisah Faruq seakan terbaca oleh Hamdan.
"Saya tidak bisa ke sana menemui anak saya. Situasinya sedang memanas mendekati politik. Banyak orang yang ingin menjatuhkan saya saat ini, Hamdan. Setelah Bapak Presiden meminta saya untuk menjabat sebagai Menteri nya, keluarga saya banyak mendapat ancaman." Faruq mendesah.
"Itu juga alasan saya mengungsikan Fania. Secara tersirat, mengingat begitu banyak yang menentang saya terjun dalam dunia politik, akan ada banyak orang juga yang bisa menusuk keluarga saya. Fania salah satu target utama mereka."
"Saya mengerti, Pak. Saya akan menjaga Fania dengan baik. Jangan cemaskan putri bapak."
"Bilang padanya, ayahnya sedang dalam masa kunjungan di Aceh. Astaga, anak itu akan semakin membenci saya setelah ini."
Senyum Hamdan sedikit terbit. "Saya kira, usai ikut hidup di lingkungan militer langsung, putri bapak telah memahami bapak lebih dari siapapun saat ini. Dia tahu ayahnya tengah berjuang digaris terdepan demi bangsa dan negara. Jangan khawatir, Pak. Fania pelan-pelan akan mengerti Bapak."
"Terimakasih, Hamdan. Tolong jaga putriku dengan baik. Ah, satu lagi, mungkin kakaknya akan menjenguknya."
"Baik, pak."
"Saya tutup, Hamdan. Tolong pastikan putri saya selalu dalam keadaan aman. Jika kau menemukan sesuatu yang janggal, segera melapor."
"Siap!"
Hamdan menghela nafas panjang setelah sambungan telepon dimatikan. Di sisinya, Rega melirik dengan satu alis terangkat.
"Jantung gue kerasa lagi naik kuda pas bicara sama Pak Faruq." bisik Hamdan, jujur. "Untung beliau bukan orang yang melihat suatu kejadian dari satu sudut pandang saja."
Rega masih bersedekap di sisinya, lalu bertanya. "Kena omel?"
"Kagak," Hamdan menggeleng. "Kena peringatan, setan!"
Pintu rumah sakit terbuka, Zuhroh muncul sambil menguap lebar. Dengan entengnya Hamdan mendekap bibir sahabatnya itu gemas.
"Bau tangan lo!" ketus Zuhroh.
Hamdan makin gregetan. "Kalo nguap tuh ditutup! Jangan nganga kelewat lebar begitu. Anggun dikit bisa nggak sih?"
"Ngomel mulu lo! Tadi pas dateng gue diomelin, ini diomelin. Sekali-kali jangan ngasih omelan dong, kasih duit kek!" Zuhroh mendengus. "Ini kan nggak salah gue sepenuhnya."
Aru yang duduk tak jauh dari mereka geleng-geleng kepala. Baru sehari dia bersama dua gadis ini, masalah besar telah ditimbulkan. Bahkan sampai terdengar di telinga Panglima.
Astaga! Capek-capek dirinya menjaga nama besar militernya, semua kehormatan itu seakan mental entah kemana karena Fania dan Zuhroh.
Bisa-bisanya Hamdan dan Rega tahan menghadapi dua cegil macam mereka?
KAMU SEDANG MEMBACA
Di bawah Pintu Pengabdian
SpiritualFania membenci Ayah nya karena tidak pernah ada untuknya, tetapi selalu berdiri paling depan untuk merah putih. Sedangkan Zuhroh tidak bersahabat dengan pekerjaan Papanya yang merupakan abdi negara, Zuhroh terlukai karena dari situ lah awal mula kes...