22. Kejutan

1K 93 31
                                    

"Zuro! Sialan! Jangan tinggalin gue woi?!"

Zuhroh yang berlarian menghindari hujan ke lorong outdoor rumah sakit berbalik kaget mendengar jerit suara kawannya. Oh, iya. Dia lupa sedang membawa Fania jalan-jalan sore di taman.

Zuhroh berbalik dengan langkah terbata-bata karena tawa. Sementara Fania gelagapan mendorong kursi rodanya sendiri. Tangannya yang lemas memutar roda sembari memakai sang teman yang asik menyelamatkan diri lebih dulu.

Langkah kaki Zuhroh didahulukan oleh seseorang. Lelaki itu melepas jaket militernya, lantas menutupi Fania dengan itu. Tak sampai di sana, dia juga mendorong kursi roda Fania dengan cepat agar Fania tak semakin kehujanan. Beruntung, kala Fania terjebak, hujan masih berupa rintik gerimis, belum sederas sekarang kala keduanya telah sampai di tempat yang aman.

Membuka jaket di atas kepalanya, Fania segera menghadap Zuhroh yang ternganga.

"Anak dakjal, kukira hubungan kita spesial? Ternyata kamu pengkhianat paling bangsat!" oceh Fania, sebal.

Tapi karena Zuhroh tak menanggapi ucapannya, Fania jadi heran. "Woi, Zuro. Nggak usah segitunya merasa bersalah, walaupun gue kesel sampe pengin nelen lo, gue tahu kok lo emang ngeselin."

"Kak Khalid?"

Deg!

Fania terbelalak mendengar nama yang disebut sahabatnya. Dengan cepat Fania mengangkat kepalanya ke atas dan senyum tipis khas seseorang menyapanya.

"Halo, Fania. Adik kesayanganku."

"Kakak?!" pekik Fania, nyaris melompat sebelum ditahan oleh Khalid.

Sambil menggeleng pelan, Khalid berjalan ke depan dan berjongkok di depan adiknya. Rupanya Fania masih saja sembrono. Saat mulutnya hendak kembali menyapa, Fania lebih dulu menerjangnya dengan pelukan. Tak lama dari itu, tangisnya mencuat.

"Kemana saja sih? Lupa kali ya sama adiknya?" cibir Fania, memukul pelan bahu Khalid yang terkekeh geli.

"Mana bisa lupa sama putri nakal kesayangan sih?" balas Khalid, lalu membiarkan Fania menangis di bahunya sembari sesekali menciumi kepala Fania sayang. "Iya, iya. Maaf ya, kesayangan. Sebenarnya Kak Khalid juga kangen banget, tapi Ibu Pertiwi butuh ksatrianya."

"Emang ksatrianya Kakak doang?"

"Banyak sih," balas Khalid tertawa.

"Terus kenapa Kak Khalid terus yang pergi? Nggak bisa gitu diem di rumah jagain Fani, biar Fani nggak dikirim ke markas begini?"

"Bisa aja sih, tapi Ibu Pertiwi suka sama Kakak. Gimana dong? Merah putih juga nggak kalah Kakak sayang dari kamu."

Fania melepas dekapan, lantas mendengus. "Emang Fani selalu kalah dari Nusantara kan?"

Dengan jahil Khalid menjawir hidung adiknya. "Itu tahu."

"Nggak Ayah nggak Kakak, semuanya lebih berbakti pada negara ketimbang kasih waktu buat Fani!"

Senyum tipis Khalid terbit. "Lebih berbakti pada negara, tapi lebih sayang pada Fania." bujuknya, lantas Khalid berbisik. "Jangan bilang-bilang, nanti Ibu Pertiwi cemburu. Dia posesif sama Kakak soalnya."

Mau tak mau, Fania jadi ikutan tersenyum. Sekali lagi dipeluknya Khalid, dengan segenap kerinduan yang mendalam. Begitupun dengan Khalid, melihat Fania masih bisa tertawa adalah anugerah yang paling dia syukuri.

Di posisinya, Zuhroh pun turut tersenyum haru. Dia ikut bahagia mendapati sahabatnya tampak berseri-seri bertemu dengan salah satu keluarganya. Dan jauh dalam lubuk hatinya, Zuhroh pun menginginkan hal yang sama.

Di bawah Pintu Pengabdian Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang