"Zaman lain?" Aku mengulangi. "Seperti ... ruang dan waktu lain, begitu?"
Thorn mengangguk. "Kami punya bumi kami sendiri."
Aku melirik laptopku di meja, layarnya masih menyala, menunjukkan halaman lembar pengerjaan penelitian. Aku tengah meninjau laporan statistik dari Sai, mengenai berapa besaran listrik yang disalurkan pada Taufan dan berapa banyak knot—satuan percepatan angin. Pada mulanya, aku ingin menkorelatifkan penelitian Sai dengan penelitianku; membuktikan aku jauh lebih berhasil dalam mengeksploitasi energi Taufan. Tapi, aku sadar; variabel kami memang sama, tapi cara kami memperlakukan Taufan tidak apple to apple.
Jelasnya, bagaimana aku dapat menyusun laporan, coba? Aku saja tidak tahu apa metodeku. Apa aku bereksperimen dengan Taufan? Tidak. Apa parameterku? Tidak ada. Bagaimana nantinya aku akan memaparkan definisi operasional penelitian bodoh ini? Aku-tidak-tahu. Apa yang akan aku tulis? Tentang bagaimana caranya aku mengelus-elus kepala Taufan, dan memperoleh perhatiannya? Gila. Stress. Itu tidak ilmiah.
Aku menghela napas panjang. Setelah memukul mundur egoku sebagai peneliti, mengebelakangkan aspek ilmiah, kuputuskan sekarang juga, aku akan mendengarkan Thorn. Dia mau cerita, ada zaman lain, 'kan? Baiklah. Aku, ilmuwan jenius ini, mencoba percaya.
"Apa di zamanmu semua orang berkekuatan super?" Aku merasakan lidahku kelu. Bisa jadi aku ikut-ikutan gila karena membicarakan perkara halusinatif begini dengan objek penelitianku sendiri.
"Tidak, tuh." Elak Thorn.
"Ingatan kami terpisah. Kalau kamu ingin tahu kebenarannya, kamu perlu mewawancarai objek penelitian yang lain juga." Ujar Taufan.
"Kalian bertujuh ... berbagi ingatan?" Aku melayangkan pertanyaan bodoh itu. "Medically impossible."
"Aku tidak tahu caranya membuktikan. Aku tidak menyuruh kamu percaya." Taufan tampak cemberut. Aku ingin cubit pipinya.
Aku mengendikkan bahu. Sulit sekali menjaga perasaan seseorang secara terkhusus.
"(Nama), bisakah kamu menyelamatkan lima objek lainnya?" Thorn membujuk.
-
Thorn merekomendasikan aku memulai dengan Ice, Blaze, Gempa, Solar dan terakhir Halilintar. Kata Thorn, yang susah diurus belakangan saja. Begini, biar aku klarifikasi. Objek-objek itu punya nama lahir, dan itulah nama asli mereka. Halilintar, Taufan, Gempa, Blaze, Ice, Thorn dan si bontot Solar.
Wajah mereka memang sama, tapi tabiat dan intensitas keras kepalanya beda-beda. Aku diminta membujuk-rayu ketujuhnya dengan berbagai cara.
Dulu, aku berdoa pada tuhan dalam meminta rintangan asik. Aku merasa hidupku terlalu biasa-biasa seperti terjebak dalam ritme hanyut mengikuti arus air. Aku mengharapkan tantangan, aku ingin dihadapkan pada kesulitan. Tuhan mengabulkannya. Tapi, maksud doaku bukan begini. Aduh! Aku ini ingin tetap menjadi ahli paleontologi! Aku maunya direkrut lagi oleh CIA atau organisasi Greenpeace, dan ditugaskan menguak letusan kabrium, meneliti makam Firaun, atau merumuskan pelambatan siklus karbon untuk meramalkan kapan matahari akan mati! Bukannya capek-capek menyiapkan mental untuk merebut hati tujuh objek elemental dari pertambangan geothermal.
Aku menarik napas panjang, mengosongkan paru-paru dari oksigen jenuh yang memuakkan, lalu menghebuskannya pelan.
"Kamu siap?" Tanya Gopal, sang kepala proyek Objek Es.
Aku mengangguk. Pintu dibuka oleh mekanisme seperti brangkas uang raksasa di bank. Hawa dingin menguar dari dalam. Ventilasi atas ruangan itu mengeluarkan asap putih seperti gas biologis dengan efek freon. Wah, kurasa saking dinginnya, mesin penghangat di ruang itu malfungsi. Tunggu, apa? Keren juga. Apa ada ring piston dan seal krep yang rusak, ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Boboiboy x Reader | SCP Foundation
Fanfiction|Boboiboy x Reader| Aku seorang ilmuwan paleontologi yang memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan bekerja sebagai petugas sipil di pusat sains Asia Pasifik. Tiba-tiba, ada surel email yang masuk ke inbox laptopku, menawarkan aku pekerjaan di SCP Found...