- 23

2.5K 334 61
                                    

Retak'ka. Objek eksperimen milik Pak Kaizo, ia menguasai atensi penonton. Ia seperti peragawan teknik bela diri paling jago diantara kontestan lain.

Dan aku mengirimkan Blaze untuk mengalahkannya.

Aku tidak ingkar janji. Aku mengajak objek-objek elemental lain dalam hal ini. Aku duduk diantara mereka, menonton Blaze dari kursi penonton.

"Profesor, profesor," Taufan mengguncang pundakku.

"Hm?" Aku menoleh.

"Ada yang memanggil." Taufan menunjuk ke arah kiri podium. Mataku mengikuti, dan aku temukan Ying disana.

Ying menyengir sambil mendadah. Aku ikut melambaikan tangan rendah-rendah. Ying mengisyaratkan aku agar mendekat padanya. Aku menepuk paha Taufan sekali, dan berbisik aku akan ke toilet sebentar, menitip pesan pada objek elemen ini; jangan pergi darisini, jangan bertengkar dengan siapa-siapa, jangan mengacau. Taufan menyetujuinya. Ia mengangguk antusias, lantas aku lekas pergi.

"Halo, profesor." Ying menyapa. "Boleh minta waktu sebentar?"

"Tentu saja." Aku berjalan beriringan dengan Ying ke kursi penonton bagian atas. Aku duduk di sampingnya.

Ying mengeluarkan papan berfigura emas dari dalam tas kulitnya, dan ia meletakkan benda berharga itu di pangkuanku.

"Nobelmu. Yang kamu simpan di keranjang sampahku." Kata Ying. "Saat hari bersih-bersih."

"Aku tidak butuh, Ying. Kenapa diambil?" Aku mengelus tepi figuranya dengan enggan sambil mendesah tak nyaman.

"Bukannya kamu mati-matian memperoleh penghargaan fisika itu?" Ying mengernyit heran. "Mempersembahkan waktumu. Uangmu. Tenagamu. Hatimu. Segalanya."

Aku meremas tangan, "Kenapa? Apa maksudmu?"

"Pak Amato cerita padaku." Ying menatap pertandingannya; pertandingan Blaze dan Retak'ka. Mereka bergulat dengan seimbang. Aku melamun. "Kamu mengincar nobel astronomi. Proyek zaman lain."

Aku menghela napas, "Apa salahnya? Mau menghakimi aku mengenai etika, nilai moral, dan budi pekerti? Ying. Bercerminlah."

Aku menunjuk pada Blaze di ring arena, "Kamu sama saja. Kamu membedah Objek Api—"

"Itu perintah si Kaizo. (Nama). Jangan alihkan pembicaraan. Kamu mau mengorbankan apalagi kali ini? Aku penasaran ada kegilaan apalagi?" Ying menyenggol pundakku.

Aku tergelak sambil geleng-geleng kepala, "Ying, Ying."

Ying menepuk figura itu, "Kamu itu tolol juga ya, Prof. Kamu menyerahkan kemanusiaaanmu dan perasaanmu demi seoonggok barang bodoh ini?"

Ying mengangkat nobelnya.

Aku mengerti apa maksudnya Ying. Aku mengubah ekspresiku jadi mimik tersinggung, "Aku mengincar prestasinya, bukan penghargaan simboliknya. Kudedikasikan hidup ini demi perkembangan ilmu matematika."

"Kamu bisa dapat kehidupan yang lebih baik daripada kehidupan sekarang ini." Ying menuturkan.

"Apa kurangnya hidupku?" Aku mengucek mata—aku mengantuk. Aku tinggal di negara yang tak berkonflik. Karirku melonjak naik semenjak ASPAC merekrutku. Aku bisa hidup pada standar hedonisme di Ibiza tanpa harus jadi salah satu dedengkot kaum liberalis-kapitalis. Lumayan sempurna, lah.

Ying meraih pergelangan tanganku, mencengkramnya lembut, ia memposisikan tanganku di dadaku, "Berhenti mengabdikan dirimu untuk sains. Abdikan juga jasamu untuk dirimu sendiri."

"Apa yang kamu rasakan?" Tanya Ying.

Aku menggeleng, "Tidak ada."

"Bohong." Ying mengelak. "Rasakanlah baik-baik."

Boboiboy x Reader | SCP FoundationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang