- 11

2.4K 342 65
                                    

Aku ingin tertawa lepas ketika kutemukan Sai berdiri di sebrang sana dengan muka minta dipukul. Tapi aku menelan tawaku. Aku akan bersikap sopan. Tapi tidak bisa. Aku tesedak cudahku sendiri karena usaha menyumbat kegelian ini terlalu lama di alam bawah sadar. Sai memandangiku dengan bengis, ia tidak senang aku bertamu ke bilik eksperimen Objek Tanah.

Memoriku malah mengulasi balik kejadian lucu kemarin seperti kilas balik film dokumenter; Sai dipermalukan di babak penyisihan turnamen karena disandingkan langsung pada gladiator juara berturut-turut selama delapan musim. Mukanya benar-benar memerah. Ia menggaruk belakang leher dan mengekspresikan kekecewaannya dengan menendang alat perkusi di sisi podium.

Itu lucu. Parameter lucunya ialah; Sai menelan malu. Jujur, karenanya, aku jadi ingin minta tanda tangan Retak'ka. Aku fans-nya sekarang. Oke. Kapan-kapan, aku akan minta tanda tangannya.

"Rupanya kamu belum menyerah." Sai memulai percakapan secara ofensif. Aku mendecak lidah, lalu meletakkan satu tangan di mulut sumurnya Objek Tanah. Aku tidak menjawab, aku ingin mengabaikannya.

"Asal kamu tahu, dia tidak boleh bersentuhan langsung dengan manusia." Sai melanjutkan. "Sangat berbahaya. Kubur dalam-dalam mimpimu."

"Aku sudah janji pada Kaizo." Aku memandang ke kegelapan dibawah sumur.

"Hah? Lalu kamu mau apa? Masuk ke sana?" Sai menunjuk ke dalam lubang. "Tidak ada lift. Memang sengaja tidak dibuatkan. Agar Objek Tanah terkurung di habitatnya secara permanen."

"Itu sekarang yang sedang kupikirkan; bagaimana caranya menjangkau Objek Tanah." Aku masih terpaku. Waktu kecil, aku takut gelap, dan takut hantu. Aku menengadah. Terpampang jelas satu-satunya akses menuju ke bawah sana, yaitu memanfaatkan katrol ringkih di atas yang fungsinya untuk menghantarkan makanan. Buatku, itu cukup.

Aku menarik tali pada sisi beton, memeriksa apakah tali itu cukup rapuh untuk menopang berat badanku.

"Yang benar saja." Tampaknya, Sai mengetahui apa maksud dan tujuanku.

Aku memanjat naik ke mulut sumur, lalu menggapai bidang angkut yang ditanggung titik tumpunya oleh dua roda mekanis ganda diatas. Aku tidak memiliki cukup kepercayaan diri. Tapi melamun juga tidak menyelesaikan masalah-masalahku.

"Dasar gegabah." Sai membuang muka. "Kamu mau bunuh diri atau apa?"

"Tak ada cara lain. Cepat bantu aku! Turunkan talinya ke bawah. Pelan-pelan." Aku memerintahkan.

Sai tidak yakin. Ia ragu mempersilahkan aku turun dengan cara ini. Lagi pula, superkomputer tidak punya proteksi apapun di dalam sumurnya. Namun setelah menimbang-nimbang, Sai bersedia membantu.

"Yang cepat sedikit." Aku menggerutu.

"Kamu pikir—ah, terserah." Sai malas meladeniku. "Oh hey, aku tidak menjamin dibawah sana tidak ada sarang kecoak."

"Asal jangan ular titanoboa pemakan manusia." Aku menghibur diri. Aku sadar; baik kecoak atau ular titanoboa pemakan manusia, mereka memang berbahaya. Tapi Objek Tanah jauh lebih berbahaya.

"Apa kamu bilang? Ini Amerika Serikat, bung! Titanoboa hanya hidup di hutan tropis yang panas. Cih, ilmuwan paleontologi apanya? Apa kamu menjoki disertasimu, hah? Kamu meraih gelar profesor juga karena proyek amatirmu itu dilirik acara TV yang sukanya membahas keanekaragaman hayati saja, 'kan? Hoki! Dan dengar-dengar kamu diterima di Massachusetts pada program astronomi juga dengan nilai pas-pasan yang tertolong karena di ujian masuknya ada sub-disiplin teorema matematika."

Aku menunjuk batang hidungnya, "Jaga mulutmu, bajingan! Aku tidak menjoki disertasiku, karena akulah penjokinya. Dan catat ini baik-baik, Dok. Aku lulusan astrofisika, bukan astronomi!"

Boboiboy x Reader | SCP FoundationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang