Epilog

4.1K 374 106
                                    

"Memang, kamu bekerja di sektor nuklir?" Tanya si dokter.

Aku menjatuhkan pandangan ke arah tanganku; di tanganku ini, tergantunglah jas laboratorium. Aku mengangguk. Aku bahkan baru pulang dari salah satu prodi teknik nuklir karena aku berkeperluan mensosialisasikan temuan kenukliran terbaru.

"Ya ..." aku menjawab lemas. Wajahku pucat. Aku kurang darah, kecapekkan pula. "Biasalah, dok. Anggap saja kecelakaan kerja. Berikan aku obatnya saja. Supaya aku bisa kerja besok. Ada proyek baru."

"Sebaiknya ambil cuti satu sampai dua hari." Kata si dokter.

"Ah," Aku mengeluh. "Aku merasa baik-baik saja. Hanya butuh penanganan farmakologi."

"Farmakologi." Si dokter mengangguk. "Aku meresepkan asam folat dan tablet tambah darah untukmu, ya. Diminum masing-masing sekali sehari."

Ia menyerahkan padaku plastik berisi dua puluh strip obat.

"Pokoknya liburlah dulu. Kamu kelelahan." Katanya lagi.

Aku menahan napas. "Jujur saja, Dok. Tempat kerjaku ini cukup kurang ajar. Susah sekali meminta izin sakit pada komisi ketenagakerjaannya."

"Aku yakin mereka akan mengizinkan kamu cuti hamil." Si dokter menyodorkan strip urin dengan wadah plastik ke arahku.

Oh. Aku tertegun. Ini ulahnya siapa diantara mereka? Kukira aku muntah-muntah karena Solar belakangan ini menempel padaku dan aku keracunan nuklir lagi. Tapi Boboiboy berpecah tadi malam. Dia memang rutin berpecah kalau malam. Pecah jadi dua. Bergantian saat ingin tidur seranjang denganku. Mereka bahkan menulis jadwal dan memajangnya di kamar di samping foto resepsi kami dulu. Kemarin malam gilirannya Halilintar dan Taufan.

Tapi ... aku curiga pada ... Blaze. Sedikit pada Ice. Dan sangat curiga dengan Solar. Thorn juga. Gempa. Mereka itu sama saja kalau urusan begini.

Aku hanya tidur. Tapi aku tidak tahu kalau ketika aku tidur, sesuatu terjadi. Aku memijit kening. Aku punya tujuh bayi besar di rumah. Aku belum siap diberikan mandat mengasuh bayi betulan.

Aku menyudahi konseling ini. Dan menelpon Boboiboy untuk menjemputku dari rumah sakit; entahlah ia sedang berpecah jadi siapa, atau tidak sama sekali berpecah. Ketika ia datang, aku ingin memukulnya.

Moodku buruk! Aku marah. Aku marah karena pekerjaanku banyak dan berita ini lumayan mengguncang batinku. Aku benci pekerjaanku sekarang; Ilmuwan. Meskipun dengan ijazah bodong, aku diterima kerja di institusi pengembang teknologi nuklir di Malaysia. Tak apa. Yang penting aku punya ijazah asli. Tapi ketinggalan di bumi satunya.

Dia datang lima menit setelahnya. Ini Boboiboy. Dia tak berpecah. Atau, belum.

"Kamu sakit?" Ia meraih tanganku. "Maaf ya. Tadi TAPOPS memanggil. Aku juga perlu menyelesaikan pekerjaanku di kantor—"

Aku menarik telinganya.

"Aduh, Bidadari. Sakit." Ia mengelus telinganya. "Kamu kenapa? Aku salah apa?"

"Kamu menghamili aku!" Aku berteriak.

Boboiboy membeku seketika. Lalu ia terlihat kaget. Ia membeku sesaat, lalu menarik tanganku, memelukku di teras pintu masuk utama rumah sakit. Aku mendorongnya, menjauhkan tubuhnya dariku.

"Jangan. Jangan disini. Di depan umum." Aku mendesis. "Ayo ke mobil. Cepat!"

Boboiboy berubah sedih. Ia menurut.

"Kamu mirip ayahmu. Terutama pagi ini." Komentar Boboiboy, setelah membukakan pintu padaku.

"Memang." Aku membalas ketus.

Kami berkendara. Boboiboy menyatakan betapa senangnya dia mendengar kabar medisku.

"Besok, kita ke kedainya Tok Aba, ya." Katanya. "Dia akan senang kalau mengetahui kabar ini langsung dari mulutmu."

Aku mengangguk sambil menonton pemandangan dibalik kaca mobil. Hamparan pepohonan berjejer memanjakan mataku. Bumi lain ini sangat indah. Aku terbuai dengan kecantikan alamnya. Aku terpesona oleh betapa eksotiknya bentang alam desa ini—Pulau Rintis namanya. Disini tidak ada budidaya tanaman sintetis. Pohon-pohon masih menghijau, mengaksesorisi keberagaman hayati. Tidak ada persoalan racun atau pencemaran besar-besaran.

Saat kami melewati alun-alun, aku memergoki adanya gebyar tanam pohon. Aku mendekatkan wajahku ke kaca mobil, lalu memanggil Boboiboy, "Boy. Itu apa?"

Biasanya Boboiboy merespon cepat, namun ia diam. Aku lekas menoleh untuk mengetahui Boboiboy sedang apa; ia tengah berkonsentrasi menyupir, sambil menyedot ingus. Dia menangis.

"Heh!" Aku menyentak. "Kenapa menangis? Aku salah apa? Aku membentak kamu, ya? Aku minta maaf. A-aku terbawa emosi. Kurasa karena hormon kehamilan."

Boboiboy mengelap air matanya dengan tangan, "Bukan begitu, Cinta. Aku hanya bahagia. Aku mendapatkan kamu. Aku jadikan kamu milikku. Selamanya. Dan ... aku akan jadi ayah. Aku tidak sabar. Aku bahagia. Aku pria paling bahagia di bumi ini. Terimakasih banyak, (Nama)."

-

Aku menahan tangannya untuk meraih tubuhku lagi. Aku lalu pergi ke arah Kaizo berdiri, dan memeluknya, menepuk-nepuk punggungnya dengan telapak tangan seraya aku menenangkan segala pikiran yang menggelegak mengisi otak semerawut ini.

Aku membiarkan Boboiboy menonton adegan ini.

Aku mendengar sesuatu dari belakang—dari mulutnya Boboiboy, "(Nama) ..."

"Kaizo." Aku melepas pelukanku. "Maaf, ini perpisahan. Aku sudah berjanji, aku akan menjadikan Boboiboy pria paling bahagia di bumi. Aku harus menepatinya."

-

TAMAT.



book ini udah beres. konsentrasi pengerjaan author bakal dialihin ke book yg judulnya "SUPERHERO". juga kayanya bakal ada perilisan buku lagi yg judulnya "Pasien E-3.70" atauuu gatau deh. pokonya kalo mau dpt notif, boleh follow acu. makasih udah baca, see you in the next book🫶

Boboiboy x Reader | SCP FoundationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang