"Mau kamu apa? Bebek peking? Zhajiang mian? Sate taichan? Paratha, mau?" Aku telah menyebutkan lusinan nama makanan dari berbagai zaman, budaya, dan berdasar status demografi negara asalnya masing-masing. Tapi Ice menolak merespon. Ia meringkuk di kasur, membungkus diri dengan dua lapis selimut. Selimutku dan selimut dari unit kesehatan yang aku curi. "Atau, kamu mau fastfood? Seafood? Mau aku pesankan pain aux? Prioche? Pain de Mie? Mie instan? Fougasse? Nasi kebuli? Baklava? Popsicle rasa apel? Atau apa?"
Sama seperti usaha-usahaku sebelumnya, Ice menolak menjawab. Ia tidak ingin bicara sedikit pun, ia malah memejamkan mata sambil meremas tanganku dibalik selimut kasmirnya.
Dari mulai keripik tinggi garam, makanan pemicu asam urat, berbagai varian junkfood, jajanan berpengawet yang mengandung boraks dan formalin, masakan rumah, sayur-mayur organik favorit vegetarianisme ovo-lakto, olahan daging sapi hingga daging kalajengking sudah aku tawarkan, tapi Ice tetap tidak tertarik.
"Ice, kamu tidak lapar?" Thorn bertanya.
Ice diam. Masih diam.
Tanganku sampai berkeringat, karena daritadi, Ice tak kunjung mau melepasnya.
"Ice." Aku memanggil. Mata Ice menyahut. "Jangan membisu begitu."
Aku menarik paksa tanganku, lalu aku berdiri.
"Mau kemana, (Nama)?" Taufan terlihat sama paniknya dengan Thorn. Makhluk-makhluk eksperimen ini memang tidak suka ditinggal sendiri. Mereka maunya ikut. Kemana-mana minta ikut, mengekor di belakang punggungku, menggamit tanganku, seolah mencurigai aku akan kabur dan meninggalkan mereka.
Kalau mereka memohon ikut ke keluar kamar, aku agak takut mereka mengacau. Karena pada kenyataannya, Taufan dan Thorn itu kerap menjadi biang onar. Contohnya tadi, ketika aku membawa Ice ke kamarku, dua minyak telon itu tidak setuju Ice akan diungsikan kesini juga.
Begini kata Taufan, "Sudah cukup Thorn saja, aku tidak mau membagi (Nama) dengan siapa-siapa lagi."
Dia ingin pengasuh pribadi.
Lalu Thorn menyahut, "Bagaimana jika Ice tidur diluar?"
Satu makhluk tumbuhan ini juga kurang waras.
"Aku mau keluar sebentar." Balasku.
"Kemana?" Skeptis Taufan.
"Ke WC."
"Ikut."
Aku menyentuh pundak Taufan, "Di zaman ini, pria tidak boleh masuk ke toilet wanita."
"Di zamanku juga begitu." Taufan meringis.
"Taufan, aku sungguh-sungguh tidak akan lama. Oke. Biar aku beritahu ... aku ada janji bertemu. Dokter Ying sudah menunggu. Aku ingin membahas soal Blaze dan pintasan menakhlukannya; barangkali aku bisa menyuap Blaze dengan permen atau mengiming-imingi dia tiket VVIP diskotik Mondrian's Skybar di Los Angeles. Sekalian aku mau minta pendapatnya Ying, dan pendapat orang-orang, mengenai bagaimana cara menstimulasi nafsu makan seseorang." Aku melirik Ice. Mataku dan mata Ice berserobok pandang. Mulut Ice membusur ke bawah, menandakan ia tidak senang atas stetmenku barusan. Ice memiringkan posisi tidurnya lalu memeluk gulingku kencang-kencang, membelakangiku. Jika Ice merajuk semudah itu, dia jelas akan merepotkanku lebih jauh pada kesempatan-kesempatan lain.
Taufan mengangguk. "Jangan lama-lama."
"Janji?" Thorn mengacungkan kelingkingnya, lalu diikuti oleh Taufan. Aku mengalami cluster. Aku sakit kepala karena orang-orang ini. Aku mengulas senyum depresi, sambil menautkan anak jariku bersahutan dengan milik Thorn dan Taufan secara bersamaan. Mengerikan. Kapan lagi seorang ilmuwan paleontologi diperlakukan begini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boboiboy x Reader | SCP Foundation
Fanfiction|Boboiboy x Reader| Aku seorang ilmuwan paleontologi yang memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan bekerja sebagai petugas sipil di pusat sains Asia Pasifik. Tiba-tiba, ada surel email yang masuk ke inbox laptopku, menawarkan aku pekerjaan di SCP Found...