Taufan bilang, spesialisnya melawan Ejojo itu Gempa.
Jadi disinilah aku, mengomel tidak jelas di depan sumur dalam bilik eksperimen Objek Tanah. Bukan, aku bukan kesal karena diminta membawa pulang Objek Tanah secepatnya. Aku kesal dengan Ying.
"Astaga, (Nama)! Aku tidak tahu kamu jauh lebih parah daripada Yaya!" Ying berteriak histeris.
Aku menyingkirkan wajah Taufan menjauh dari depan wajahku. Aku merasakan betapa kenyalnya pipi orang ini; aku mendorongnya, aku tidak peduli ia kesakitan atau apa. Aku tetap melengserkannya hingga ia terguling ke samping.
Aku lalu meraih tongkat kruk milikku yang tergolek di samping dengkulku. Aku berdiri tertatih-tatih sambil ngos-ngosan. Wajahku sudah tak karuan, buntalan rambutku terlihat bak serabut kelapa awut-awutan.
"Ying, aku bisa jelaskan." Aku menggapai bahunya sambil terbungkuk-bungkuk menstabilkan tulang retak-retakku ini. Aku menunjuk Taufan di sebelah kiri belakangku—mukanya seperti orang tersakiti, mulutnya mengerucut, dan ia menatapku tak terima.
Ying mengibaskan tangannya seperti mengusir nyamuk, "Sudahlah. Aku tak berhak ikut campur."
Aku semakin mencengkram bahunya dengan cakaran tanganku. Ying meraih lengan tanganku itu. "Sudah. Aku tidak mau menghakimi rumah tangga orang. Aku ... merestui kamu, karena kamu temanku."
Ekspresi sumringah Ying sungguh dibuat-buat; giginya kelihatan, ia mengeluarkan sebongkah kata 'hehe' dengan sangat tidak alami, matanya pun melarikan diri dari tatapanku. Daripada turut senang, ia lebih terlihat seperti mengejek.
"Sudah, sudah. Oh ya, kamu itu masih dalam masa pemulihan, lho. Jangan kebanyakan gerak." Ying menasehati.
Aku menormalkan postur tubuhku, melepas cengkramanku pada pundaknya. Aku menampilkan senyum simpul lalu bicara, "Operasimu manjur mandraguna. Aku lupa berterimakasih. Terimakasih banyak, Ying. Padahal, yang kutahu dari pengakuanmu, kamu dokter bedah syaraf. Bukan ortopedi."
Ying terkekeh lagi. Aku tidak tahu mengapa ia mendadak diliputi begitu banyak gestur mencurigakan, "Em, yah. Sama-sama. Aku memang bukan ahlinya. Aku agak-agak lupa materi tulang-tulangan begitu karena semasa pendidikan koas, konsulen di stase ortopedi dan traumatologi di universitasku galak sekali. Hehe. Aku ... lupa lupa ingat dasar-dasarnya. Jadi aku membedahmu sambil, em—hehe, menonton tutorial di Youtube."
Mengingat penurutannya—bagaimana Ying menjelaskan bilamana sedikit saja ia berbuat salah, maka aku akan tidak selamat, betul-betul menjengkelkan.
Aku menghentakkan tanganku ke mulut sumur. Aku tidak mengira aku dapat selamat dari kematian karena dokterku menonton Youtube.
Aku lalu mengaitkan diri ke bekas elevator sederhana yang digunakan tim penyelamatku saat aku jatuh terperosok ke dalam sumur gara-gara Sai. Bentuknya mirip pengaman wahana flying fox. Dan aku naik ke mekanisme lift sederhana dari kerangka besi portabel. Aku akan turun lagi ke bawah, namun kali ini aku telah difasilitasi oleh teknologi dan pemandu superkomputer. Fang belajar dari kesalahannya. Syukurlah.
Pelan-pelan aku turun. Liftnya bergerak cepat, melintasi dinding sumur yang telah dipasangi obor bertenaga listrik. Suasannya mirip gim Tomba saat tokoh utamanya pergi ke daerah pertambangan coal. Setelah sampai dibawah, kutemukan pagar besi melindungi lapisan tengah sumurnya, mencegah Objek Tanah pada jangkauan lift.
Aku melucuti tabirnya yang diamankan oleh password dari sistem proteksi superkomputer, lalu masuk ke dalam. Tidak sulit mencari Objek Tanah. Ia meringkuk, tertidur pulas di dekat dinding sumur dimana ia melukiskan coretan-coretan abstrak dengan batu kapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boboiboy x Reader | SCP Foundation
Fanfiction|Boboiboy x Reader| Aku seorang ilmuwan paleontologi yang memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan bekerja sebagai petugas sipil di pusat sains Asia Pasifik. Tiba-tiba, ada surel email yang masuk ke inbox laptopku, menawarkan aku pekerjaan di SCP Found...