"Meminta ... lebih?" Aku mematung. Sehingga terbentuklah kesunyian yang stagnan.
"Kami maunya kamu memikirkan kami lebih sering daripada Fang!" Thorn menyahut.
"Tentu saja." Aku menjawab cepat. Mencari kebenaran terkait presensi dunia pararel yang berjalan pada ruang dan waktu menyerupai dunia ini; membuktikan benar atau salahnya publikasi jurnal seorang fisikawan dari Jepang berjudul teori superstring—prediksi simetri cermin—dalam hukum teorema jauh sangat sangat sangat lebih penting dari Fang. Bila memang dibutuhkan, keinginan kecil semacam itu, tentu dapat aku penuhi. "Tapi, ada syaratnya."
"Apa?" Giliran Blaze yang merespon secara tanggap.
"Apa? Apa?!" Taufan ini tidak santai.
"Bantu aku mengambil-balik jam kuasa kalian." Kataku. "Seseorang menjual jam kuasanya ke jejaring pasar gelap. Jadinya benda itu diperebutkan di turnamen ilegal underground city. Aku memerlukan salah satu diantara kalian menjadi suka—"
"Aku! Aku aku, aku!" Taufan mengacungkan tangan bersemangat. "Tunjuk aku! Aku mau, aku bersedia."
"—relawan. Baiklah," Aku berdeham.
"Tapi aku juga mau," Thorn menunjuk dirinya sendiri.
"Shhh, tolong kondusif. Biar aku jelaska—ohok," aku terbatuk sekali. Aku memang merasa tenggorokanku kering. Luka operasinya masih basah. Aku takut minum dan makan. Ya. Omong-omong, aku lapar. Tapi jangankan bicara mengenai makanan, minum saja aku tidak berani. Aku takut menyakiti luka jahitan subkutis di dalam leher compang-camping ini. "Tuhan, aku haus dan lapar."
Setelah aku mengeluh, Blaze bereaksi dengan bicara, "Kamu mau makan? Mau makan apa?"
"Tidak. Aku sakit di daerah faring. Kukira aku tidak bisa makan. Rasanya mengerikan ketika nantinya aku menelan." Aku memijit jidat.
"Biar aku ambilkan minum." Ice melenggang pergi. Jika minum, aku masih akan sakit. Tapi, okelah.
Aku bangkit dari kasur. Rasanya sakit sekali di area kaki. Aku memperoleh banyak jahitan, dan tulang tempurungku disangga oleh perabot medis modern yang aku sendiri tidak tahu apa namanya dan seperti apa fungsinya. Ying. Boleh juga orang gila satu itu. Psikopat-psikopat begitu, Ying tetap bekerja dengan kompeten; setidaknya ia tak menjadikan aku lumpuh permanen sebab kecelakaan protokoler karena terlalu ceroboh saat membongkar-pasang tulangku.
Sesuai instruksi medis, aku tak sepantasnya berusaha memobilisasikan diri. Tapi aku dikejar waktu. Aku mengaduh ketika engsel di dengkulku terasa rapuh. Kendati demikian, aku tetap berdiri. Aku mau jatuh, tapi tangan Taufan menangkapku. Aku ditariknya agar berdiri dengan tegak, ia mempergunakan lengannya sebagai penopang tubuhku.
Aku dituntun belajar berjalan hingga ambang pintu, sedangkan Thorn dan Blaze mengikuti seraya menanya-nanyai soal turnamennya. Aku belum tahu banyak mengenai tradisi paguyuban mafia-mafia di SCP Foundation yang mendirikan turnamen tiap musim itu. Aku sebatas mengetahui fakta lucu dimana Kaizo terlibat di dalamnya sedangkan Fang tidak.
"Apa disana orang-orang saling bertengkar?" Tanya Thorn.
Taufan membantuku duduk di meja kerja. Aku lalu menyabet jas putih selutut yang aku sampirkan di gantungan pada dinding di dekat situ, lalu memakaikannya dengan hati-hati karena tanganku juga agak terkilir. Lalu aku mengalungkan ID card; ini wajib. Supaya ketika aku mati dan mayatku ditemukan di selokan, di tengah jalan, di kolong jembatan, di bilik eksperimen, atau di gorong-gorong pembuangan limbah, jasadku akan tetap dikenali dan aku dibuatkan pemakaman yang layak.
"Iya, Thorn." Jawabku.
"(Nama)." Ice memanggil. Ia tidak menyuguhkanku air mineral di gelas yang layak. Ice malah membawakanku botol dot dengan cairan putih yang aku sinyalir sebagai susu vanilla.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boboiboy x Reader | SCP Foundation
Fanfiction|Boboiboy x Reader| Aku seorang ilmuwan paleontologi yang memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan bekerja sebagai petugas sipil di pusat sains Asia Pasifik. Tiba-tiba, ada surel email yang masuk ke inbox laptopku, menawarkan aku pekerjaan di SCP Found...