Xtra

4.1K 400 160
                                    

Anak laki-lakiku mengadu padaku pagi-pagi begini.

"Bunda (Nama), Bunda (Nama). Kata Papa Hali, anak kecil dilarang pacaran. Tapi kata Ayah Upan, aku boleh menggoda anak perempuan di kelasku. Tapi tapi, kata Abi Gempa, aku tidak boleh genit ke siapa-siapa. Tapi, kata Abah Blaze, semestinya aku tidak menyukai anak perempuan modelan seorang anak perempuan dalam ceritaku. Tapi, kata Bapak Ice, aku sebaiknya tidur ketimbang memikirkan cinta-cintaan. Tapinya tapi lagi, kata Papi Thorn, lebih baik aku jangan bicara soal cewek dan fokus ngerank sampai Glory saja. Tapinya tapi tapi tapi, kata Daddy Solar, aku wajib memperoleh apa yang aku inginkan; anak perempuan itu. Tapi ..." Anak laki-lakiku menjeda. "Tapi, kata Pipih Frostfire, aku tidak butuh cewek untuk menjadi keren. Pipih Frostfire berbeda pendapat dengan Father Supra. Father Supra menyarankan aku untuk berkonsentrasi belajar. Padahal, Bun. Aku tidak perlu sekolah. Aku masih SD, tapi aku sudah mengerjakan ujian tulis tes kepegawaian NASA, tes SIMAK UI, aku juga menjoki salah satu ulangan mahasiswa Havard dalam ulangan matematika diskritnya. Tapi ... kalau kata Babeh Cier, aku tidak boleh sombong dan aku harus memiliki kehidupan normal, contohnya menjalin hubungan asmara antar manusia. Tapi, kata Papski Sori, aku terlalu kecil untuk pacaran, aku boleh pacaran tahu depan ketika usiaku genap sebelas tahun. Tapi tapi tapi tapi! Kata Appa Gentar, aku tak perlu meminta sarannya sebab aku berhak memutuskannya sendiri. Yah ... Ayahanda Sopan malah mensupport aku dalam memacari setiap cewek di kelasku, Bun. Aku harus gimana?"

Aku memundurkan kursi berodaku dari meja kerja, melepas kacamata anti radiasi dan meletakkan ke sembarang arah, dan menatap anak laki-lakiku dengan seribu satu perasaan.

"Bunda sudah bilang kan? Papa papamu itu semuanya sesat, kecuali Ayah Gempa dan Babeh Glacier." Kataku, kembali mengingatkan. "Oh ya. Kamu menyukai anak perempuan di ... kelasmu?"

Siapa?

"Iya!" Anak itu berseru antusias. "Namanya Alodia. Namanya bagus, 'kan? Aku tahu namanya merupakan sepenggal bahasa Latin yang berarti 'anak dari orang yang kaya'—bentuk lain dari Alodea. Dia memang anak orang kaya, Bun. Mamanya CEO dari perusahaan multinasional di Indonesia. Katanya papanya juga kaya melintir. Tapi, Bun. Alodia orangnya sombong, mirip mamanya. Tapi, tapi, tapi, dia sebetulnya dermawan, tapi gengsi-gengsi gimana, gitu. Tapi ... dia sombong sekali. Dia bilang dia jenius, bijaksana, baik hati, dan sempurna. Tapi, Bun, aku tetap suka. Aku suka Alodia karena dia cantik."

Aku menganga sedikit.

"Alodia sering diantar kakeknya yang namanya Kakek Pian, Bun. Aku mau mendekati dia, tapi dia selalu langsung pulang dijemput kakeknya dengan limosin super panjang itu." Anak ini mengoceh lagi. "Gimana ini, Bun? Aku mau pacarin dia."

"Siapa yang mengajari kamu konsep pacaran?" Aku bertanya.

"Daddy Solar, Bun." Jawabnya, patuh.

-

"Berapa desible scale yang kamu ingin rasakan, Objek Cahaya?" Aku memgintimidasi Solar sambil melangkah maju, semakin menterpojokkan Solar di sudut ruangan. Tanganku menggenggam earphone yang dihubungkan pada konservator listrik untuk menggertak objek itu sampai ia merinding ketakutan.

"P-profesor sayang, k-kamu kenapa?!" Solar berteriak nelangsa.

"Kamu bilang apa pada anakmu! Pacaran? Dia bahkan masih sepuluh tahun!" Aku marah-marah.

Seseorang menarik pundakku ke belakang, dan memelukku erat, "Profesor jangan marah-marah, nanti cepat tua."

Satu lagi objek penelitian—yang sialnya—aku nikahi, melagukan ucapan itu. Taufan.

"Profesor, profesor," Taufan mengecup pipiku. Sejujurnya, ini perkembangan yang pesat. Awal-awal masa pernikahan kami, ia dan kloningan-kloningannya sangat canggung padaku. Mereka hanya akan menunjukkan gestur seperti merentangkan tangan tanda ingin dipeluk, mesem-mesem karena aku pulang telat, berdiri tanpa tujuan di ambang pintu sebab ingin tidur bersama, bengong di depan piring selama sejam lebih karena menunggu disuapi. Tapi belakangan ini, terutama lantaran salah satu diantara mereka yang paling kurang ajar, yaitu Gentar, berani-beraninya menyentuhku, mereka mulai invasif terhadapku. "Jangan hiraukan Solar. Ayo main denganku saja."

Boboiboy x Reader | SCP FoundationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang