Yaya itu setengah baik, dan separuhnya lagi tidak. Yaya menyuruhku bertanggung-jawab atas amukannya Objek Cahaya. Dia baik sekali, dia mengusahakan agar Objek Cahaya dapat ditenangkan. Tapi disisi lain, Yaya memintaku masuk ke bilik eksperimen dengan oksigen yang terkontaminasi radiasi nuklir tanpa respirator.
Aku yakin intensitas dosis ekivalen di sekitar bilik eksperimen ini mampu membunuh seorang bayi, dan dapat menjadikan aku kembali merasakan sakit perut karena muntah-muntah.
Tetapi rasanya isi kepalaku sedang semerawut. Aku tidak tertarik mencari ribut dengan Yaya. Aku mengiyakan kata-katanya dari A sampai Z, agar perempuan asal Malaysia itu senang. Aku menatapnya malas, sambil mendengarkan waritanya terkait apa saja yang telah dibuat Objek Cahaya selama kutinggalkan dia semalaman ini.
Aku masuk ke balik lapisan rockwool sambil berjuang mengusir suasana hati kalut. Aku gelisah. Aku tidak fokus pada langkahku karena aku terdistraksi oleh ucapannya Fang yang teringang-ngiang bagai proyektor. Akibatnya, aku hampir jatuh saat aku menginjak anak tangga terakhir menuju bilik inti. Beruntung aku berpegangan pada dinding. Aku mengangkat kaki kananku ke belakang, menyentuhnya dengan tangan. Aku rasa kakiku luka.
Aku lalu mengaduh sedikit, dan kembali berjalan.
Objek Cahaya, tampak lebih berantakan. Mulutnya bermonolog lamban tanpa mengeluarkan suara. Aku membaca gerakan mulutnya; Ja-ngan per-gi. Empat suku kata yang berkali-kali ia ucapkan. Begitulah katanya.
"Solar." Panggilku.
Solar merespon, dia lantas menengadah.
"Superkomputer. Perintah suara; buka rantainya." Aku menjentikkan jari.
Superkomputer—prosesor paling elusif di era ini; dengan RAM lima ribu terra yang GPUnya berkecepatan lima puluh ribu petaflop—memasukkan perintah suaraku dalam antrian mandat. Lima detik kemudian, aku mendengar suara gemuruh. Roda kecil bersumbu rantai galvanis maha kuat yang mencengkram kedua tangan Solar melonggar karena kereknya terulur ke bawah. Saat energi listrik berhenti mengaliri rantainya agar tetap terkunci, aku melucuti kedua tangannya Solar dari segala besi pengungkung.
Kemudian aku menarik tangannya, "Berjanjilah kamu tidak akan menembak aku dengan fusi nuklir."
Solar menginspeksi wajahku. Aku belum mau membiarkan Solar menatapku langsung. Eye patchnya masih bertengger disana.
Jari-jarinya panjang-panjang dan terasa lembab; ia menyentuh area pipiku, menjalar ke telingaku, meraba daun telinganya dari atas sampai bawah. Ia memeriksa kelengkapan wajahku; alis, mata, hidung, lalu mulut. Ia menarik otot wajahku, merenggangkannya sesuka hati.
"Kamu asli." Ucapnya. Aku mengerutkan dahi. Aku menggeleng, menghindari jamahan tangannya, tapi ia bersikeras ingin memeriksa daerah kepalaku lebih lanjut.
Ia menarik pipiku. Mencubitnya pelan.
"Lewpas." Aku mundur, melepaskan diri dari sentuhannya.
Tangan Solar mengambang di udara. Tangannya mencari aku, tangan itu berkelana tanpa arah. Solar kebingungan kemana aku menyingkirkan diri.
"(Nama)?" Panggilnya. "Kemana?"
Aku ada satu langkah darinya. Aku tidak pergi kemana-mana. Tapi ia terlihat panik dan kelusuh-kelasah. Napasnya cepat dan terlalu berisik, gerakan tubuhnya konstan. Kulihat satu tangannya mengelus kepala, seperti menahan sakit dan satunya lagi tetap berusaha melacak eksistensiku.
Ia memberanikan diri untuk maju selangkah. Turunan pada undakan dengan ketinggian tiga sentimeter menjadikannya tidak siap. Solar kehilangan keseimbangan, namun aku bersiaga menjaganya agar tetap berdiri. Aku menumpu sikunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boboiboy x Reader | SCP Foundation
Fanfic|Boboiboy x Reader| Aku seorang ilmuwan paleontologi yang memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan bekerja sebagai petugas sipil di pusat sains Asia Pasifik. Tiba-tiba, ada surel email yang masuk ke inbox laptopku, menawarkan aku pekerjaan di SCP Found...