"Thorn." Aku menyentuh pundak Thorn. Membujuknya.
Thorn tidak menggubris, bisa aku verifikasi ia masih merajuk padaku karena tragedi semalam dimana aku bilang aku tak menyukainya. Aku melirik ke arah vas keramik berisi mawar Damask. Tanahnya basah. Meskipun Thorn marah padaku, ia tetap menyiram mawar itu.
Aku bukannya tak menyukainya. Aku menyukainya. Siapa pun, aku rasa, akan menyukai Thorn. Dia anak baik, bukan varian berandalan tukang tipu, penurut, pipinya berisi; lucu, suka menghibur—happy virus diantara kembaran-kembarannya—dan baik hati. Itu cukup bagiku untuk menyukainya. Tapi aku yakin yang dimaksudkan Thorn bukan suka semacam itu.
"Thorn." Panggilku lagi.
Baiklah. Tidak ada cara lain, aku berusaha mengimplementasikan apa yang aku pelajari lewat internet pada bayi marah ini; aku memeluknya dari belakang.
"Bayi, jangan marah." Aku meletakkan daguku di pundaknya. "Aku minta maaf."
Thorn melepas pelukanku, menjadikan aku membeku selama seblok waktu yang meresahkan.
"Tidakkah kamu sadar?" Thorn mengelus kepalaku sambil agak menekannya kebawah. Tekanannya tak begitu besar, aku hanya merasa ia mengalokasikan sejumput tenaga pada telapak tangannya. Secara psikologis, apa tujuan manuver tubuh itu, ya?
"Sadar apa?" Aku menukikkan alis.
"Kamu itu," Thorn menjeda, "Jauh lebih kecil dariku. Lebih pendek dariku. Lebih tak berpendidikan secara moril dariku. Lebih muda dariku, tapi menyebut-nyebut aku bayi."
Aku lupa. Aku begitu bodoh untuk melupakan hal sepenting, seurgensi, sedarurat, dan sekrusial ini; Thorn dan objek elemental itu, nyatanya laki-laki dewasa, sama seperti Fang.
-
Amato menujuk batang hidungku. Area diantara mataku. Pupilku mengikuti kemana jari telunjuknya mengarah; sehingga mataku juling sebentar. Lalu ia bicara, "Bagus. Shielda sedang cuti. Kamu jadi asisten penelitianku sekarang."
Aku menunjuk diri sendiri dan membeo, "Aku? Kenapa tidak minta tenaga bantuan ke komisi ketenagakerjaan?"
"Kamu terlanjur mengetahui rahasiaku, Nak." Amato menginformasikan. "Mengenai pembebasan Objek Petir seminggu sekali itu."
"Tapi ini tak termasuk dalam jodbesk." Aku memprotes. "Aku tidak digaji untuk itu."
Amato menyerahkan—memaksa, mendorongnya dengan paksa—skrip yang dihekter.
"Input kodenya ke superkomputer." Amato menitah.
"Tapi—"
"Input kodenya." Ia mengulang.
"Kenapa harus dicoding, Pak?" Aku mengekori Amato di belakang, sembari memeluk gundukan kertas yang secara semena-mena ia limpahkan padaku. "Kalau mau membebaskan Objek Petir, ya bebaskan saja. Tekan tombol untuk menonaktifkan pengamanan di bangku kokpit. Apa susahnya?"
"Kalau begitu aku akan ketahuan membiarkan Objek Petir kabur. Oleh operator pusat. Jejak perintah dari brainware selalu dimonitor. Caranya hanya satu; meretas sistem." Amato menerangkan. "Sudah. Jangan banyak tanya. Kerjakan. Aku mau buat coklat panas."
"Tapi—"
BAM!
Pintu geser itu ditutup. Ia meninggalkan aku di bilik eksperimen bersama seorang laki-laki dewasa yang ditidurkan dalam peti kaca berjenis vivarium. Aku meliriknya. Alat bantu pernapasan masih melingkupi sistem respirasinya. Gelembung udara keluar dari bagian kanulnya, menandakan Objek Petir masih bernyawa. Kemudian pandanganku jatuh pada bangku kokpit. Dengan gusar, aku menjatuhkan pantatku ke kursi kendali, dan aku mengedarkan pengelihatan ke tiap-tiap tombol serta papan sirkuit elektronik dengan slot-slot untuk kompartemen input lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boboiboy x Reader | SCP Foundation
Fanfiction|Boboiboy x Reader| Aku seorang ilmuwan paleontologi yang memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan bekerja sebagai petugas sipil di pusat sains Asia Pasifik. Tiba-tiba, ada surel email yang masuk ke inbox laptopku, menawarkan aku pekerjaan di SCP Found...