- 10

2.5K 335 12
                                    

Masalah lama terselesaikan, masalah baru muncul. Baru ketika aku menginjakkan kaki di teras menuju pintu keluar kamar, Ice memanggil.

"(Nama)." Karakter suaranya melankonis.

Aku menoleh. Ice, Blaze, Thorn, dan Taufan kompak membentuk barisan yang tak wajar. Pagi ini, di hari ke sebelas, dua puluh dua hari sebelum deadline penelitianku ditagih Kaizo, mereka berprilaku agak aneh. Di hari ke delapan sesudah aku menjadi kepala proyek penelitian Objek Angin, aku memergoki pertama kalinya Taufan dan kembaran-kembarannya menyeriusi aku seakan ini keadaan darurat.

"Kenapa?"

"Bisa kita bicara?" Ice menyambung kalimatnya.

Padahal, kemarin malam—setelah aku bilang pada Ying bahwa Blaze ingin dua belas anak—aku mengalami badai emosi; aku kebingungan akan terjemahan prilaku Blaze dari Ying, aku juga takut karena Ying mengingatkan tenggat waktu penelitianku yang disepakati Kaizo, dan aku tidak tahu bagaimana aku akan menyikapi ini semua. Aku jadi pemarah. Kemarin malam, aku tidak sengaja membentak Thorn. Aku bilang aku perlu bekerja dengan laptopku tanpa diganggu ocehannya. Sebab aku dikejar deadline. Sekarang mereka malah menghentikanku saat ingin bekerja. Padahal hari ini aku sudah menjadwalkan pergi ke bilik eksperimen Tanah sambil menanya-nanyai Fang lewat telpon; ehem, ya. Kami bertukar kontak semalam.

"Tolong jangan pagi ini. Aku hendak menengok Objek Tanah dan merampungkan penelitian." Aku menengok ke arah jam tanganku. Walaupun tidak ada batas waktu kapan aku mesti datang, aku merasa aku perlu pergi kesana tepat waktu.

"Aku janji ini sama pentingnya dengan penyelamatan Gempa." Ice memohon.

"Baik. Jadi ada apa?" Aku mempersilahkan. Tanganku berhenti menarik kenop pintu. Aku merilekskan bahu dan mendengarkan Ice dengan seluruh perhatianku.

"Aku bisa mengatakan ini kapan saja. Termasuk ketika nanti kamu berhasil memboyong Gempa, Solar dan Halilintar. Tapi akan lebih baik jika kuberitahu sekarang." Ice menjelaskan. "Kami tidak bisa menguraikan kebenaran dunia yang kamu damba-dambakan itu tanpa barang milik kami. Barang kami itu disita oleh institusi ini. Jam kuasa."

-

Sial! Si Objek Petir cari masalah lagi! Makhluk pseudo-setan itu telah dua kali menggaggalkan penelitianku. Dia kabur. Lagi. Dia merusak sistem listrik SCP Foundation. Lagi. Aku heran. Gopal bilang pemimpin proyek Objek Petir sama jeniusnya dengan Einstein, tapi dia membiarkan objek penelitiannya kabur seminggu sekali dan memadamkan pembangkit listrik tenaga nuklir kami secara rutin dan konsisten. Aku mana bisa bertelanjang pengamanan begini jika mau mengontak Objek Tanah secara langsung; sudah kubilang, superkomputer kami—tenaga sekaligus processor inti dari sistem keamanan disini—mati tanpa listrik.

Listrik darurat dinyalakan. Lagi. Penerangan remang-remang menyelimuti tiap ceruk lorong. Lagi. Aku muak. Aku tidak bisa menunda penelitianku lebih lama. Aku perlu merebut hati Objek Tanah secepatnya. Tapi Tuhan seakan tidak mengizinkan.

Aku jadi berpikir kemana-mana, aku takut aku tidak bisa menepati janjiku pada Kaizo. Aku tidak ingin buang-buang waktu dengan merenung, makanya aku mengerjakan apa yang bisa aku usahakan tanpa adanya listrik; mengetik di laptop, pelan-pelan menyusun resume untuk komisi ketenagakerjaan di perpustakaan.

Tempat ini tenang. Aku bersembunyi di sudut baca dengan rak-rak tinggi berisi buku mengenai gangguan prostat pada pria, Nasofaringitis, Kardiomegali, dan banyak tema medis lain.

Aku mengetik. Sorotan layar laptop mewarnai wajahku. Aku tidak berhenti berpikir. Mendalami teoriku, mengusahakan agar Kaizo bisa puas.

Brak!

Boboiboy x Reader | SCP FoundationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang