- 19

2.3K 303 74
                                    

Aku dan Solar datang terlalu cepat. Jadi kami duduk di bangku penonton sembari menonton pertandingan lower bracket antara alien melawan alien lainnya. Di sisi kananku, Solar mengaku kedinginan. Aku tahu aku langsung memperkerjakannya sejurus setelah aku membebaskannya dari bilik eksperimen Yaya. Aku sudah minta maaf, dan menanyakan kebersediaannya—Solar bilang, ia sukarela mengikuti turnamen karena bagaimana pun, ia menginginkan jam kuasanya kembali. Epilognya, aku memerintahkan Solar mencari kehangatan kecil-kecilan dari pundakku. Ia meletakkan kepalanya di bahuku, lalu memejamkan mata; Solar juga mengantuk berat. Aku iseng meraba tangannya. Nyatanya temperaturnya tak kalah dingin dari permukaan kulit Ice secara harfiah.

Solar tidak berbohong.

Aku memangku kedua tangannya, aku berusaha menutup tangannya dengan balutan jas laboratorium. Setidaknya aku harap itu membantu.

Solar cukup gelisah. Ia mendesakkan kepalanya di bahuku, berupaya memperoleh kenyamanan.

"Tok Aba ... aku ingin pulang." Dalam tidurnya, Solar meracau. Aku menoleh ke arahnya; wajahku menabrak kepalanya. Setengah pandanganku dihalangi oleh rambutnya. Tapi aku masih bisa lihat, raut Solar tampak terganggu, layaknya orang bermimpi buruk.

Ia menyebutkan satu nama; Tok Aba katanya. Itu bisa jadi ... keluarganya, bukan? Aku ingin tanya. Aku penasaran. Aku mau tahu siapa Tok Aba, apa hubungannya dengan Solar—dan segalanya mengenai Solar serta enam kembarannya.

Kemudian aku sadar, kemejaku basah di bagian pundak. Aku segera menoleh karena spontanitas, meskipun gerakan itu lumayan menganggu Solar. Kutemukan manusia ini menangis dalam tidur. Aku tidak mampu membiarkannya menangis, makanya aku mengusap air matanya pelan. Aku tidak mau menyakitinya barang sedikit pun, aku menyentuhnya penuh kehati-hatian.

"Shh, shh," aku menepuk-nepuk bahu Solar dengan satu tanganku yang membentang menuju sisi kiri tubuhnya. Aku tak ingin membangunkannya ketika penonton sedang riuh-riuhnya karena pertandingan di arena tengah memanas, jadi aku mengemongnya.

Dan aku menangkap wajahnya dengan telapak tangan, mendekatkannya ke daun telingaku.

"Permisi?" Aku mendengar suara bariton dari samping kanan kursi penonton.

Ini pria berumur empat puluhan yang aku tabrak ketika aku diminta Yaya pergi ke bilik eksperimen Objek Cahaya. Ia mengenakan jas laboratorium sama seperti aku, ID cardnya berbingkai emas; menandakan ia anggota birokrasi sama seperti Fang. Perangainya umpama orang baik. Meskipun belum berinteraksi sama sekali dengan pria tua ini, aku lebih dahulu menyimpan kesal padanya; secara tak langsung, karena ia membiarkan Objek Petir lolos dari pengamanannya tiap seminggu sekali. Pria keriputan ini telah menyebabkan aku terhambat dalam mengakses kesemua objek elemental. Aku ingat kala aku mesti putar balik saat ingin pergi ke bilik eksperimennya Gempa karena kejadian mati listrik.

"Y-ya?" Aku menyahut.

"Boleh aku duduk disini?"

Aku mengangguk. Aku mengedarkan pandang; masih banyak bangku kosong selain disini.

"Itu Objek Cahaya, ya?" Tanyanya.

Dia tahu ini Objek Cahaya, tapi dia tidak takut. Aku terdiam.

"Oh. Maaf. Namaku Amato." Ia memperkenalkan diri.

MATAHARI, BANGUN. ORANG INI SERAM.

Aku mau berteriak begitu. Tapi tidak bisa. Aku menggigit bibir. Padahal wajah Amato terlihat baik. Tapi aku merasakan atmosfer berubah mencekam segera setelah ia datang kemari.

"Aku orang dari ASPAC. (Nama)." Aku menyebutkan namaku pelan-pelan. Aku takut.

"Aku membaca unggahan resumemu di forum diskusi para pemimpin proyek, Profesor." Kata Amato. "Pra-katanya sangat klise. Tapi isinya sungguh emosional."

Boboiboy x Reader | SCP FoundationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang