Bagatelle No. 25, atau aku lebih senang menyebutnya Für Elise, mengalun di telingaku. Lagu karya Beethoven itu mengisi seluruh udara kamar operasi.
Aku agak tidak nyaman menutup mulut dan hidungku mempergunakan masker yang didobel. Aku juga membungkus rambut dengan haircap medis dan mengenakan surgical gown sesuai protap seolah aku bagian dari tim operasi ini.
Ying menyenandungkan ritme Für Elise sambil mengoles alkohol ke area insisi yang difokuskan dengan duk bolong.
"Nomor 22." Perintah Ying.
Salah satu asistennya yang bernama Iwan—si dokter pendiam, berambut ikal, dan terkesan penurut—menyuguhkan pisau bedah berujung runcing pada Ying. Baiklah. Iwan. Kutandai mukanya.
Aku menjadi saksi bagaimana Ying menginsisi lapisan kulit bagian sternum Objek Api ke batas tulang panggulnya. Walaupun aku bukan ahlinya, aku bisa tahu insisinya terlalu acak-acakan dan tujuan operasi ini masih dipertanyakan. Tangan Ying memang terampil. Tapi gerakannya terlalu lancar seakan ia tidak menerapkan kehati-hatian dalam mempraktikkan prosedur penyayatan satu itu. Aku menelaah wajah Ying; masker menyelimuti sebagian mukanya, tapi sorot matanya tidak menunjukkan ketegangan. Ia santai, ia lebih sibuk menikmati Für Elise ketimbang mengkhawatirkan tindakan sembrononya tadi.
Sesuai perkiraanku, tadi itu lumayan ceroboh dan asal, jadinya terjadi pendarahan dimana-mana, terutama di daerah abdominal. Setelah kuperhatikan lagi, tidak ada tanda-tanda panik pada gestur tubuh Ying.
"Clamp." Ying mengangkat tangannya. Iwan lalu meletakkan benda yang disebut clamp—intrumen bengkok seperti gunting penyumbat—pada tangan Ying.
Ying mengikat kebocoran pembuluh darah dari ulahnya barusan dengan cekatan. Tapi karena perdarahannya terlalu banyak hingga menutupi daerah kerjanya, Ying berdecak, "Suction."
Iwan mengeluarkan selang yang terhubung ke benda dispenser aneh dengan tabung air berbunyi seperti mesin vibrator, lalu menyerap darah-darah pengganggunya ke selang vakum itu.
Ying memutar Für Elise versi sudah direvisi. Aku tak begitu menyukai modifikasinya. Jadi, jujur-jujuran, musik solo piano itu kurang menarik hatiku. Bayangkan saja, arpeggio sebelah kiri yang ditunda pada nada ke-16 menjadi pendamping proses pembedahan dengan pendarahan intraoperatif. Penanda tempo poco moto mengiringi suara deru mesin suction dari aliran vakumnya. Ying menikmati momen ini.
"Suction." Perintah Ying lagi. Iwan menurut.
Ying itu sama gilanya dengan Sai.
"Paku payung steril." Ying meminta. Dan Iwan menyiapkannya.
"Ini hemostatis permanen. Prosedur penyumbatan dengan paku payungnya berhasil." Ying meracau-racau, bahagia karena tindakan hemostatiknya sukses. Apa ia bicara padaku? Mencoba mengguruiku dengan bahasa kedokteran itu? Lain kali akan kubuat dia merasa seperti orang bodoh ketika aku mengajaknya ke lab paleontologi.
Aku sekilas melirik karyanya Ying. Duk bolongnya bersimbah darah. Itu sangat tidak rapi. Dan aku bisa menangkap pembicaraan kecil dokter di sebelah Iwan pada Iwan, ia berbisik, "Apakah ini asidosis?"
Perolehan kondisi itu, setahuku, akan memperparah risiko operasi karena terlalu banyak asam menumpuk di tubuhnya. Yang jelas, keadaan tidak normal ini—aku yakin seratus persen—juga ulah Ying sebagai pemimpin proyek. Siapa tahu tiap hari Ying mencekoki Objek Api aspirin dalam dosis besar, lalu ia merencanakan penelitian 'Seberapa pengaruhnya antipiretik terhadap ketahanan Objek Api?' Bukannya mau asal menuduh. Kelakuannya saja mirip titisan setan, aku berprasangka macam-macam begini tentu karena ada alasannya sendiri. Aku tidak sekonyong-konyong akan mengecapnya buruk tanpa kausalitas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boboiboy x Reader | SCP Foundation
Fanfiction|Boboiboy x Reader| Aku seorang ilmuwan paleontologi yang memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan bekerja sebagai petugas sipil di pusat sains Asia Pasifik. Tiba-tiba, ada surel email yang masuk ke inbox laptopku, menawarkan aku pekerjaan di SCP Found...