1. Yang di Dalam Diri

32 6 1
                                    

Suara klakson roda empat beradu, sepersekian detik, sebelum peristiwa itu tak bisa lagi dihindari.

Tabrakan mobil di penghujung 2022. Aku masih mengingatnya. Memori yang melekat. Rasa sakit yang paling sesak. Namun, seiring itu berlalu, tenggelam dalam kepalaku, aku tidak merasakannya lagi. Benturan keras itu, luka terbuka tempat merah darah mengalir deras, kini terbalut oleh peralatan-peralatan yang terpasang di sekujur tubuhku.

Jiwaku yang tersedot, diriku yang semula tenggelam, kini seolah kembali lagi ke daratan yang baru. Apa memang beginikah setelah kecelakaan? Karena aku belum pernah merasakannya sebelumnya. Mataku terbuka, oleh aroma khas pewangi ruangan rumah sakit yang tercium. Pendingin ruangan, suara menggema, dengan langit-langit berwarna putih sebagai pemandangan pertama. Aku merasa asing, tapi ... ingatanku mulai memproses kembali masa kecelakaan itu, dan justru membuatku kenal dengan lingkungan ini.

Setelah kecelakaan itu, setelah rasa sakit itu berlalu, satu-dua bulan lebih setelahnya ... hanya itu yang melekat di memoriku. Hingga aku tidak lagi terbaring di ranjang rumah sakit.

YES! AKU SUDAH SEMBUH!

Hari pertama di bulan Maret 2023. Aku, Alma Theresia Yeinna, absen nomor 4, kelas 10-B IPA semester 2. Katanya, kalau mau masuk ke kampus ternama, nilai selama kelas 10-11 harus stabil. Dan baiklah, aku akan melakukannya sekuat jiwa raga.

Aku pikir, lingkungan sekolah di SMA tidak akan buruk. Seperti kata orang, SMA adalah masa-masa termanis yang selalu ingin diulangi. Sweet seventeen. Cinta pertama. Teman-teman yang solid. Masa di mana kita semakin melangkah menuju kedewasaan. Takut, sih, tapi aku menantikannya juga. Siapa kira-kira cinta pertamaku, ya? Atau kalau bukan percintaan, apakah aku akan mendapatkan sahabat yang pertemanannya tetap jalan sampai dua puluh tahun ke depan?

Namun, kenyataannya beginilah aku. Masih di awal bulan Maret, di kelas 10-B IPA.

"KALAU NGGAK TAHU APA-APA GAK USAH FITNAAAAH!"

Sekian detik, sekian menit aku membiarkan diri merasa 'ditindas'. Meski orang-orang di sekitar mencoba mengamankanku. Sekarang aku berteriak, menerjang ke arah si 'Nenek Lampir' yang sedari tadi marah-marah dan menghabiskan sumbu kesabaranku.

Ayolah, ini bentuk pembelaan diri. Dia kira aku tidak bisa marah seperti dia? Melotot, berteriak, lantas menggunakan tangannya untuk menunjukkan emosinya itu. Dia kira aku tidak bisa menjambak rambutnya lebih keras daripada dia sekarang? Dia kira aku tidak bisa menjewer telinganya lebih sakit daripada jeweran Bu Rosa? Dia kira aku akan diam saja ketika difitnah?

Mampus saja, sehabis ini selain masuk BK, dia juga akan dijewer Bu Rosa. Aku juga, sih.

"SUDAH, SUDAH, WOI!"

"KALEM, WOI, KALEM!"

"ALMA! SELI! APA-APAAN INI?!"

Tanganku terlepas paksa setelah Fira dan Ghea menarikku sekuat raga. Cih, syukur-syukur rambut si Nenek Lampir itu tidak terlepas dari kepalanya akibat jambakanku. Kalau lepas, bisa botak dia.

Pertama yang ku pandang adalah wajah si Nenek Lampir yang merah padam, kontras dengan kulitnya yang kuning langsat. Keringat membanjiri pelipisnya. Tatapannya tajam menyorot ke arahku seolah ingin memakanku sekarang juga. Ku tatap balik dia tak kalah tajam. Kenapa, ha? Sini! Makan aku sini!

"Ada apa ini? Mengapa ribut-ribut?!" Saking kesalnya dengan si Nenek Lampir itu, aku jadi tidak sadar kalau Bu Rosa sudah datang menghampiri kami di kelas yang riuh.

"Anak perempuan satu sama lain mainnya baku hantam. Kalian ini apa-apaan, sih?! Ada masalah apa?!"

"ALMA CURI UANG KAS, BU!" pekiknya dengan suara nyaris hilang.

ALMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang