Semua hal yang telah menimpaku saat ini, sebetulnya tetap berpusat pada seseorang.
Baskara.
Yang telah lama pergi dan takkan bisa kembali.
Mungkin terkesan konyol. Semacam sisi alay dari seorang anak SMA yang baru merasakan cinta monyetnya kali pertama. Tapi, menyangkut hidup mati seseorang, tidak semua melekat dengan sesuatu yang disebut suka dan cinta.
Baskara bukan sekadar pacar. Baskara menjadi satu-satunya perhentian yang kurasa aman. Baskara menjadi teman di saat apa pun ku membutuhkan. Bahkan jika tidak, Baskara tetap siap, berada di tempatnya dan aku hanya tinggal mendatanginya.
Wajahnya, suaranya, semua masih melekat di kepalaku. Sosok yang tidak aku ketahui lagi sekarang selain kepulangannya yang belum terbukti.
Semua terlintas di kepalaku begitu saja. Bahkan saat aku masih menjadi orang lain saat ini, Baskara tetap berbisik. Menantikanku untuk menemukan dirinya di sana.
"Gimana kalau seandainya aku memang pembunuh?"
Dayat yang mendengar penuturanku secara tiba-tiba itu menoleh. Bakso yang sudah ia tusuk menggunakan garpu dan siap ia masukkan ke dalam mulutnya itu tiba-tiba saja berhenti dari perjalanannya ke tujuan.
Tak perlu heran. Aku sadar, pertanyaanku ini tergolong pembicaraan ngawur yang dilempar dengan terlalu tiba-tiba.
"Kenapa ngomong gitu?"
"Aku cuma nanya, Mas," jawabku tenang. Sedikit-banyak mulai terbiasa memanggil seseorang dengan embel-embel 'Mas'.
"Iya, kenapa nanyanya begitu?" Kini tidak hanya berhenti, bakso yang sudah ditusuk itu malah bergabung kembali ke mangkuk bersama saudara-saudaranya.
"Saya tahu sekali, kamu nggak salah. Jangan terpengaruh sama omongan orang, Jani. Mereka nggak bener, mereka nggak berhak menuduh kamu."
Aku menggeleng, diam sembari memantapkan diri. Niatku memberi suatu 'aba-aba' kepada Dayat tidak ingin kuundur lagi. Sama seperti Anjani, akupun jelas merasakan perasaan tidak rela jika nantinya Dayat akan terkejut dengan fakta yang selama ini disangkalnya.
"Apa yang mereka tuduhkan sama aku itu berdasar bukti. Jejak sepatu sudah terbukti punyaku, 'kan? Kamu nggak ada curiga sedikitpun sama aku?"
"Saya yakin. Saya percaya kalau kamu nggak mungkin melakukan hal keji semacam itu. Jejak kaki itu bisa kebetulan, Alma. Kamu memang sering lewat di lajur itu, 'kan? Saya saksinya."
Dayat terlalu keras kepala bagiku untuk ku yakinkan. Dia tetap percaya kalau Anjani sama sekali tidak bersalah. Bahkan ketika sudah ada bukti dan laporan warga sekalipun, Dayat tetap menggeleng. Dayat tetap setia pada perkataannya bahwa dia memercayai Anjani.
Tidak ingin merusak lebih suasana hati Dayat yang gembira melihatku semakin sehat, aku mengakhiri topik itu dan lanjut menghabiskan semangkuk baksoku. Sama halnya dengan Dayat, yang tidak lupa kalau bakso sebelumnya masih tertusuk dalam di garpunya.
Selesai makan siang kecil itu dan membayar, Dayat menggandeng tanganku kembali menuju motor, dengan aku yang ingin sekali lagi meyakinkan Dayat bahwa orang yang dicintainya sekalipun bisa berkhianat.
"Semua orang bisa bikin kecewa."
Dayat kali ini diam. Entah karena memang sedang fokus dengan motornya, atau sedang tidak ingin menimpali apa-apa.
Setelahnya, Dayat mengambil helm dan memasangkannya di kepalaku dengan perlahan. Sepasang netra miliknya menatapku dengan begitu dalam, menjaga jarak wajah kami yang kira-kira hanya sejengkal. Bersuara lembut, ia menjawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALMA
FantasyLepas kesembuhannya dari kecelakaan, Alma tiba-tiba dituduh sebagai pencuri uang kas oleh Seli, bendahara di kelasnya. Seluruh tuduhan menjurus padanya dan terdapat pula bukti yang merujuk pada aksi pencurian Alma. Namun, Alma tidak bisa mengingat p...