"Bapak?"
Aku tak salah lihat. Hari itu, oleh suasana redup sore menuju malam, rintik-rintik hujan bersuara membasahi bumi, aku melamat dengan jelas siapa dua insan di ruko kosong dalam jalan sempit, tempat yang dapat kulintasi sebagai jalan pintas ke rumah-- sesekali saat nyaliku terkumpul penuh.
Kekejian di sana bisa kudengar jelas. Tidak ada orang lain yang mendatangi. Tapi aku sudah tak bisa memikirkannya sama sekali ketika melihat tubuh ibuku yang sudah terkapar lemas, kotor, basah oleh air hujan yang tak terbilang deras.
Dan sosok yang keadaannya lebih bugar, yang berdiri tegap menghadap pada ibuku itu, adalah bapakku sendiri.
Kulihat senjata di tangannya, sebuah kayu besar yang kini digunakan untuk menghantamkan pukulan berefek fatal. Retinaku melebar. Untuk beberapa saat, tubuhku tak bergeming melihat pemandangan menyakitkan itu. Tubuhku gemetar, semakin gemetar merasakan dingin udara malam dan suara kesakitan yang tak mengenakkan.
Hingga entah keberanian dari mana, aku berlari, mengambil kayu lain, dan segera menghantamkannya pada si pelaku entah berapa kali.
Ya, aku ingat sekarang.
Anjani. Namaku hanya Anjani. Aku tidak punya nama belakang, entah sebagai identitas keluarga atau identitasku sendiri saja. Namaku hanya Anjani.
Tidak diinginkan. Tidak diterima. Cap itu sudah mendarah daging bahkan sejak usiaku masih di bawah lima tahun. Aku belum mengerti apapun, namun dipaksa untuk terus menerima kalau aku memang manusia yang tidak disukai oleh siapapun.
Gertakan demi gertakan. Aku mungkin hanya ingat segelintir yang Ibu ucapkan. Selebihnya berasal dari Bapak.
"JANGAN NANGIS! NYUSAHIN!"
"NANTI DIPUKUL TERUS KALAU NANGIS!"
Ibu hanya melihat, bergeming, tak melakukan apapun. Aku belum mengerti betapa sulitnya kehidupan pernikahan Ibu dan Bapak saat itu, karena aku masih lugu. Zega bahkan masih dalam kandungan Ibu saat itu. Aku hanya bisa meredam tangisan sekuatnya, kalau tidak mau Bapak kembali marah-marah.
Selanjutnya, seminggu setelah kelahiran Zega, Bapak malah pergi meninggalkan kami. Tidak, beliau masih hidup. Bapakku itu mendua dengan wanita muda yang usianya belasan tahun lebih muda dari dirinya sendiri. Dan untuk pertama kalinya setelah itu, aku melihat Ibu yang selama ini diam dengan sorot yang mendung, kini melampiaskan segala yang dirasakannya ... kemudian ikut pergi dari rumah.
Rumah berantakan. Aku menangis, meski tidak kekurangan satu apapun dalam fisikku. Terluka dalam batin. Sendirian. Zega si new born malang yang kehilangan peran Ibu dan Bapak diasuh oleh Mbok Ayu. Akupun ikut tinggal bersama di rumah beliau, hingga kini.
Tahun-tahun berlalu. Luka itu masih membekas, dan aku kehilangan arah tentang apa dan bagaimana aku ingin melanjutkan kehidupanku.
"Mbak tahu nggak, apa itu multiverse?"
"Ha?"
Sore itu. Aku menolehkan kepala, demi menatap langsung pada Zega yang anteng duduk di salah satu dari kedua kursi kayu di teras. Bocah yang lebih muda 5 tahun dariku itu tampak menghela napas untuk sebentar, sepertinya sedang bersiap menjelaskan apa maksud ucapannya tadi.
"Multiverse, sebuah teori yang mengemukakan bahwa dunia kita ini terdiri dari ribuan bahkan jutaan galaksi yang berbeda. Maka artinya, ada banyak dunia lain yang beroperasi secara bersama-sama dengan dunia kita, namun kita tidak saling mengetahui."
Dahiku sedikit terlipat. Entah ini karena fokusku sedang terbagi, atau memang otakku lebih lemot dibanding anak SMP usia 13 tahun. Perlu waktu bagiku untuk mencerna penjelasan Zega barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALMA
FantasyLepas kesembuhannya dari kecelakaan, Alma tiba-tiba dituduh sebagai pencuri uang kas oleh Seli, bendahara di kelasnya. Seluruh tuduhan menjurus padanya dan terdapat pula bukti yang merujuk pada aksi pencurian Alma. Namun, Alma tidak bisa mengingat p...