4. Baskara

17 6 1
                                    

Bel pulang sekolah berbunyi. Instrumen lagu nasional mengalun dari pengeras suara. Aku lanjut mengemasi buku yang sebelumnya belum beres, menjadi yang paling terakhir menyalami Bu Eva sebelum keluar kelas.

Aku menghela napas. Selain karena melihat koridor yang mulai ramai, aku juga merasakan kalau tasku ini berat sekali. Seakan-akan membawa batu di belakang badan.

Dalam jarak, kutunggu sebentar orang-orang untuk lebih dahulu melewati pintu keluar. Ah, pasalnya, aku risih sekali jika ditatap. Bukan berarti aku kepedean, ya, tapi memang begitu, mereka menatapku seolah aku ini adalah pelaku tindak kriminal.

Sepertinya berita aku mencuri uang kas sudah tersebar, padahal itu tidak benar. Ayolah, masa tidak ada seorangpun yang percaya padaku?

Aku menunduk ke arah plastik bening yang kupegang, berisi kotak bekal dari lelaki itu, si X alias ex, mantan pacarku.

Eh, aku jadi teringat. Mungkin ini alasannya sempat tertawa di room chat saat aku menyebutkan nama kontaknya. Dia sadar diri sebagai seorang mantan, hahaha. Aneh dan membingungkan, sih, sebenarnya. 16 tahun hidupku, aku belum pernah pacaran. Tahu-tahu sudah punya mantan.

Semangat, semangat. Aku yakin, aku masih bisa menjalani semua ini, sembari mencari kebenaran tentang bagaimana pencurian uang kas itu. Masih banyak pertanyaan. Dan aku ingin mengetahui yang sebenarnya sebelum menyatakan diriku bersalah atau tidak.

10 dimsum sudah habis kumakan istirahat tadi, dan baiknya, belum ada reaksi sekarang. Sepertinya memang tidak ada racun. Baguslah.

Keluar dari pintu di sayap kanan, aku berjalan ke arah lapangan. Mengedarkan mata ke beberapa orang yang kukenal, seperti Pak Taufik yang tengah menghampiri motornya, Bu Rosa yang sudah melaju duluan, satpam yang menjaga gerbang, Fira dan Ghea yang pulang bersama, Seli yang berjalan kaki bersama teman-temannya, dan ... oh, itu dia! Si X, jauh berseberangan posisinya denganku, tetapi aku dapat melihatnya. Di dekat pohon belakang pos satpam.

Dia menatapku juga. Wah, sepertinya ingin menagih kembali kotak bekalnya. Baiklah, kini aku setengah berlari ke arahnya.

"Rajin banget larinya?"

"Ha?" Rajin, katanya? "Lari doang dibilang rajin."

Dia tersenyum. Dalam sorot mata yang semakin intens, aku baru sadar kalau lelaki ini memiliki lesung pipit. Ekhm, cukup ... menawan, mungkin?

Bagiku, dia cukup tinggi untuk laki-laki seusianya.

"Kamu itu mageran, nggak suka berlari."

Aku mengerutkan dahi. Kesimpulan dari mana itu?

"Sudah habiskan dimsumnya?" tanyanya, lebih dahulu membahas dimsum bahkan sebelum aku mengeluarkan kotak bekal dari plastik bening itu.

Aku mengangguk, segera memberikannya. "Makasih. Enak dimsumnya. Nggak kamu kasih racun, 'kan?"

Dia menerima plastik itu sambil tergelak. "Nggak, lah! Buat apa coba."

"Barangnya sudah kamu ambil?" tanyanya lagi. Akupun mengangguk lagi. Mengeluarkan benda yang dimaksudnya dari dalam kocek seragamku. Dia mengangguk.

Aku menatap kembali ke arah benda logam yang merupakan kunci loker tersebut. Dari yang aku ingat di rekaman CCTV, loker itu punya lobang kunci sendiri, tidak menggunakan gembok. Pertanyaannya, di mana loker itu sekarang? Dan untuk apa ex-ku ini memberikannya padaku?

Belum apa-apa, bahkan belum ada dua detik aku memerhatikan kunci di tanganku ini, lelaki itu sudah berjalan meninggalkanku. Tanpa mengucap salam atau berpamitan.

"Hei! Jangan pergi dulu, dong!" Aku kejar dia, menyamakan posisi dengan langkahnya.

Lelaki itu berhenti, untuk pertama kali menunjukkan wajah keheranan. "Dahulu, kamu suka sekali meninggalkanku seperti itu, dan sekarang kamu malah mempermasalahkannya?"

"Maksudmu apa, sih?" decakku. "Sebentar dulu, aku punya banyak pertanyaan. Kunci ini sebenarnya buat apa?"

Dia semakin mengerutkan dahi. "Mengapa amnesiamu jadi parah sekali, Alma?

Hitung, ya. Ini mungkin ketiga kalinya dia menyebutku amnesia.

Aku menghela napas dalam, mulai kesal. "Serius, aku nggak tahu apa-apa sekarang. Tolong, dong, aku menerima kunci ini dari kamu, sedangkan aku sendiri nggak tahu apa fungsi kunci ini. Aku juga nggak tahu di mana posisi loker yang dimaksud karena di kelas loker itu sudah tidak ada. Sebenarnya apa maksudnya, sih, semua ini?"

"Oke, terserah kalau kamu mau menyebutku amnesia. Aku hanya mengingat namaku, lingkunganku, dan nama teman-temanku. Tentang kamu, loker, dan segala kasus uang kas itu, aku nggak ingat sama sekali. Tolong, ya, kalau kamu memang tidak percaya padaku, setidaknya beritahu aku soal loker itu. Aku butuh untuk mengingatnya supaya aku bisa tahu, apakah aku bersalah atau tidak."

Mataku dan matanya bertemu untuk beberapa saat. Terdiam. Aku menanti jawaban darinya yang entah sedang memikirkan apa hingga mendadak tersenyum-senyum. Orang aneh! Aku memicing, bergidik. Lama-lama lelaki ini jadi menyeramkan. Duh, tahu-tahu malah benar pula ada racun di dimsumnya.

"Kamu bicara seakan-akan kamu bukan Alma. Padahal kamu tahu, lho, soal kunci loker ini." Akhirnya dia bersuara. Aku memutar bola mata, sudah mulai malas untuk bertanya lagi soal kunci loker. Kini, seperti perlakuannya tadi, aku melangkah duluan, benar-benar meninggalkan lelaki yang sama sekali tidak jelas asal usul, maksud, dan bahkan namanya ini.

Aku berjalan kaki untuk pulang. Belasan langkah, hingga di pinggir jalan yang tidak seramai sebelumnya, aku baru sadar saat menoleh ke belakang.

Dia mengikutiku!

"HEH!" Aku berbalik, berseru. Lelaki itu kini berhenti, setengah terkesiap, memandang heran bersama keningnya yang terlipat cepat.

"NGAPAIN IKUT-IKUT?"

"Lah? Rumahku 'kan arahnya juga ke sini," jawabnya. Aku sebenarnya masih ingin menyulut, mengatainya pembual, Namun, ekspresinya lebih dahulu meyakinkanku bahwa dia tidak sedang berbohong sekarang.

Mengapa dia bicara seolah aku sudah tahu banyak tentang dirinya? Jika aku amnesia, kapan ingatanku akan kembali? Bagaimana mencarinya? Aduh, padahal sebelum ini baik-baik saja, lho! Aku baru merasakan pusing yang aneh dua harian ini. Sebelumnya tidak sama sekali.

Oh, tidak. Jangan-jangan, aku benaran kena penyakit. Apa benar ini yang disebut skizofrenia?

Aku tidak merasakan trauma, perasaan tertekan atau semacamnya. Aku hanya sering teringat dengan sakit fisik saat kecelakaan dan karenanya pun aku tidak begitu ketakutan. Lantas mengapa ingatanku bisa hilang? Apa ini hanya semacam short term memory loss? Tapi mengapa tidak balik-balik ingatannya? Aneh.

Pada akhirnya, aku tidak memiliki jawaban tepat untuk menyangkal ucapan lelaki ini, karena aku sendiri tidak tahu apapun. Aku hanya bisa berdoa semoga dia bisa menjadi partner yang tepat.

"Kamu seperti orang bingung, Alma." Ia berujar, memecah keheningan yang terjalin di antara kami. Aku bahkan tidak sadar saat ia sudah menyamakan langkah denganku sehingga kami berjalan bersebelahan.

"Kamu punya masalah? Ingatanmu itu kayaknya terganggu."

Ya, itulah masalahnya!

"Ceritalah padaku," pintanya tanpa ragu, membuatku menghela napas.

"Bagaimana jika kamu beritahu namamu dulu?" jawabku, mengajukan tawaran 'barter informasi'. Aku meminta nama, dia meminta cerita.

Ia segera menoleh, dan kali ini menjawabku tanpa basa-basi lagi.

"Baskara. Baskara Aditama. 10-E IPA."

ALMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang