28. Mencari Baskara

7 3 3
                                    

Aku sudah berdoa sekarang, Alma.

"Ya Tuhan, Mbak!? Mbak Jani!"

"Kenapa tiba-tiba pingsan begini, Mbak, aduh ...."

"Mbak Jani!"

***

Suara hening menjadi yang pertama menyapa, seakan sudah tahu dari lama kalau kesadaranku akan segera kembali. Netraku menyipit kala langit-langit rumah sakit berwarna putih mendukung sorot cahaya lampu yang menusuk di kali pertama. Kepalaku pusing, mataku berkunang-kunang. Tapi untungnya, semua itu kualami hanya sementara.

Ingatanku seketika melayang pada tragedi-tragedi diluar nalar itu. Tentang Anjani, dunianya, dan duniaku, semuanya. Tentang bagaimana secara ajaib jiwa kami tertukar lewat kecelakaan mobil di dua dunia yang berbeda.

Kenyataan yang lebih mirip seperti khayalan.

Aku jadi terpikir. Apakah semua yang sudah terjadi itu ... hanya mimpi?

Apa aku masih di rumah sakit sekarang karena kecelakaan mobil itu?

"Alma, kamu udah sadar?"

Bersamaan dengan suara itu, kurasakan tubuhku yang rupanya bebas tidak terbalut alat-alat rumah sakit sekecil apapun. Kecuali fakta bahwa tubuhku rebah lemah di atas ranjang rumah sakit yang kecil ini.

Dan suara itu, bukan suara panik Mama apalagi Papa-- selaku orang tua yang akan terkejut kala anaknya sudah bangun dari kritis akibat kecelakaan mobil.

Seorang wanita dengan kemeja merah marun datang padaku setelah menaikkan sandaran kasur rumah sakit tempatku berbaring. Kulihat senyuman hangat di wajahnya yang tidak aku kenali. Siapa dia?

"Selamat datang kembali, Alma."

***

"Alma mau bicara serius, Pa."

Begitu permintaanku saat aku sudah masuk ke dalam mobil bersama Papa. Malam ini setelah konsultasiku, Papa menjemputku sendiri tanpa Mama. Katanya Mama menolak karena sedang masak di rumah.

Tampak ujung bibir Papa terangkat membentuk senyum geli. "Mau bicara apa? Kedengarannya serius sekali, ya."

"Memori Alma udah balik," lanjutku langsung ke inti, tak ingin lagi basa-basi. "Alma udah ingat semuanya. Dan Alma jelas yakin kalau yang waktu itu bukan mimpi, Pa."

"Yang waktu itu yang mana, Alma?" tanya Papa dengan suara tenang. "Yang waktu itu kamu bangun dari pingsan dan kamu nangis?"

Dengar, kan? Papa langsung menembakkan topik ke sana. Jelas kejadian saat itu cukup membekas di benaknya. Menurutku, jika memang Papa menganggap tangisku itu hanya karena bunga tidur biasa, ingatan itu tidak akan langsung muncul di benaknya.

Paling tidak, keningnya akan berkerut berusaha menggali ingatan lama itu. Tapi ini tidak. Papa tidak sama sekali kesulitan mengingat. Tiba-tiba saja langsung bisa menjawab.

Maaf jika memang aku terlalu suudzon. Aku hanya kepikiran. Karena papaku pun tidak akan pernah luput dari suatu skandal yang menyangkut-pautkan dirinya. Kalau memang bukan Papa, siapa tahu aku bisa mendapat jawaban lain dari pembicaraan ini.

"Kalau itu bukan mimpi, kira-kira kenapa itu terjadi, di mana itu terjadi, dan bagaimana itu terjadi?" tanya Papa lagi secara lebih kompleks.

"Mimpi Alma ada sangkut pautnya dengan apa yang Laskar bilang kemarin, Pa," tukasku yang kali ini membuat Papa bereaksi setingkat lebih berbeda.

ALMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang