9. Dengan Bu Rosa

8 5 1
                                    

"Alma Theresia Yeinna. Nama kamu sekarang sudah nggak asing di kalangan guru-guru, Nak."

Bu Rosa di hadapanku tidak seperti kemarin lusa. Beliau menatap tenang, bicara penuh kelembutan, mata bertemu mata seperti seorang ibu kepada anaknya. Aku cukup lega. Kedua tangannya takzim berada di atas meja. Duduknya tegak. Buku BK kini tidak ada di depannya. Benda itu dikesampingkan.

"Bukan hanya karena kamu pengurus OSIS, tapi karena beberapa kasus yang pernah kamu buat terkait dengan kerusakan fasilitas sekolah. Terlebih, setelah pertengkaranmu dengan Seli ini, namamu 'naik' pesat."

Aku mengangguk-angguk. Menanti kelanjutan.

"Lalu, setelah pemberitahuan yang kami berikan kepada orangtua kamu, kami baru pagi ini mendapat laporan langsung terkait hasil pemeriksaan psikologis yang kamu lakukan semalam. Ini hal penting yang perlu kamu dan saya bicarakan secara jelas."

"Hilang ingatan lepas kecelakaanmu disebut masuk dalam gejala dissociative disorder, dan itu fakta yang cukup mengejutkan bagi saya. Dengan sikapmu yang menyangkal perilaku tidak baikmu di semester satu sebelum kecelakaan, dan ketidaktahuanmu akan loker serta uang kas itu sudah cukup membuktikan, ada sesuatu yang terganggu dalam kepalamu."

Suka tidak suka, kenyataan ini harus kuterima. Pil pahit ini tetap kutelan. Aku yang telah 'jauh' dari teman-teman sekelas, namun juga tidak tahu-menahu dengan diriku sendiri. Di lingkungan sekolahku pun, masalah kesehatan mental terbilang suatu cap yang buruk di mata orang lain. Istilah 'orang gila' yang kerap kali dijadikan candaan oleh teman-temanku itu akan benar-benar menjadi sebuah label bagi Alma Theresia Yeinna.

Dalam keadaan seperti ini, aku tidak bisa mengulik jawaban hanya dengan bercermin-- lantas bicara dan bertanya kepada diri sendiri. Tidak bisa.

"Faktor trauma, tekanan dari lingkungan, boleh jadi memang membuatmu mengalami penyakit tersebut. Maka dengan kondisimu yang seperti ini, perihal uang kas yang hilang tidak lagi menjadi hal yang sederhana untuk diselesaikan. Banyak pertanyaan ditujukan kepada kamu, sedang kamu sendiri kebingungan dengan identitas diri dan jelas tidak akan bisa menjawab pertanyaan apapun."

Aku mengangguk lagi. Pemaparan dari Bu Rosa benar-benar akurat 100 persen. Mewakili suara hatiku tiga harian ini.

Bayangkan. Ini baru tiga hari. Tapi rasanya lama sekali.

"Ibu bukan psikolog apalagi psikiatri, Ibu bukan seorang ahli jiwa yang bisa menangani kondisi kamu merunut tahap para ahli. Tapi, demi kebaikanmu di sini, Ibu pastikan kamu tetap mendapat konseling guna mengembalikan diri dan ingatanmu yang hilang. Entah dengan kepribadian asli atau palsu ibu berbicara sekarang, namamu tetap Alma, bukan?" Bu Rosa tersenyum.

Aku mengangguk, turut mengikuti gerakan lekuk bibirnya. "Iya, Bu."

"Maaf, Bu, karena sudah membuat kekacauan. Saya betul-betul tidak mengerti dengan banyak hal, dan saya tidak tahu mau bertanya dan bicara ke siapa saja. Mungkin memang saya mengidap penyakit mental itu dan sedang amnesia. Saya sangat berharap ingatan saya cepat untuk kembali."

"Ya, Ibu juga berharap begitu, Alma," angguknya. "Maka mulai sekarang, semampu Ibu, Ibu akan membantu kamu terkait ingatanmu yang hilang. Ibu percaya sama kamu."

Suasana hatiku terasa menghangat. Meski telah kenyang oleh tatapan sinis teman-teman di sekolah, mendengar seseorang yang masih percaya padaku tetap saja mengembalikan semangatku.

"Terima kasih banyak, Bu."

"Sekarang, kita akan diskusi soal apa saja komponen dalam ingatanmu yang terasa menghilang. Coba Alma sebutkan, apa saja yang Alma tidak ingat selain loker, jabatan bendahara, dan tragedi uang kas itu."

ALMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang