"Alma bukan pembunuh?"
Begitu polos Seli bertanya sembari mendongak ke arah Laskar di sampingku yang berkali-kali menjelaskan. Kehebohan seputar Baskara belum sampai ke telinga pihak sekolah. Tapi, sebelum Seli bertindak jauh lebih mendiskriminasi aku lagi di sekolah, aku harus menjelaskan segala kejadian yang telah terjadi.
Terlebih, aku juga butuh penjelasan sebenarnya dan sudut pandang cerita dari Seli sendiri.
"Bukan," bantahku. "Aku bukan pembunuh."
"Terus, bagaimana yang sebenarnya? Kenapa dan bagaimana Baskara bisa mati di tangan mereka? Apa tujuannya?" tanya Seli bertubi-tubi. Membuatku menghela napas sejenak, ingin menjelaskan semua dari awal.
Mulai dari kejadian di 29 November itu, kemudian aksi pencurian uang kas-ku dan alasan di baliknya, juga apa yang aku alami mulai dari teror, keanehan Papa, dan sampai kecelakaan.
Satu-satunya hal yang belum kuceritakan pada mereka adalah perihal perpindahan jiwaku dengan Anjani.
"Kamu juga yang menerima uang kas itu, 'kan, Sel?" sambungku, sedikit membuat Seli menampakkan wajah tertegun. Disusul Laskar yang menoleh cepat seakan meminta jawaban jelas untuk segera.
Seli mengangguk pelan. "Iya. Makanya saat pertama masuk semester 2 aku menjauhimu, Alma. Aku takut kamu malah menyerangku di sekolah. Tapi, kabar baik yang membuatku cukup senang pada awalnya adalah saat kamu dinyatakan lupa ingatan."
"Dengan begitu, mudah bagiku untuk menjebakmu dengan tuduhan pencurian uang kas, supaya aku nggak terseret duluan. Atas pernyataan bahwa kamu yang terakhir memegang kunci loker dan bukti rekaman CCTV, kamu sudah bisa terjerumus penuh dalam jebakan itu."
"Penjahat-penjahat itu sebenarnya sudah menjerat orang tuaku dalam bisnis wirausaha yang mereka buat. Mereka disebut akan saling bekerja sama di perusahaan milik ayah Baskara. Tetapi, perlahan-lahan mereka mengambil alih. Karena ditekan ancaman, kami juga menjadi miskin, Alma. Maka dari itu, mau tidak mau kami tunduk pada mereka dan menerima uang yang mereka beri dalam beberapa kesempatan."
"Begitulah, tampaknya kejadian ini bertujuan untuk menguasai sepenuhnya perusahaan milik Pak Aditama. Entah serangan dari mana, aku nggak tahu. Aku kurang paham dengan hal-hal seperti ini. Intinya, aku juga ikut dijerat dan dipaksa jika masih mau nyawa selamat. Mungkin saja keadaan bisa lebih buruk lagi dari ini, maka dari itu aku bersyukur masih bisa bertahan sampai saat ini."
Seli menghela napas.
"Maaf, Alma. Aku mengaku aku salah. Karena aku nggak mau menjadi yang disalahkan. Aku merasa aku sudah cukup tertekan dengan ancaman dari penjahat-penjahat itu, dan aku malah melampiaskannya kepadamu."
Aku ikut menghela napas. Mendengar cerita Seli semakin membuatku bingung nan pusing. Perkara antar perusahaan ini betul-betul menyakiti banyak orang. Sungguh kurang ajar.
"Lalu, gimana soal loker? Kamu buang ke mana?" tanya Laskar-- memotong niatku yang ingin pula menanyakan hal serupa.
"Aku nggak buang. Aku tahu di dalamnya masih ada uang dan Alma yang pegang kuncinya. Aku kasih loker itu ke mereka si penjahat. Makanya pada awal masuk uang kas nggak ada, dan aku pelan-pelan arahkan tuduhan ke Alma."
Aku menggumam, mengangguk-angguk mengerti. Laskar pun sepertinya bereaksi sama. Semua sudah semakin jelas sekarang.
"Lalu, Alma, kenapa kamu titipkan kunci ke Baskara?" tanya Laskar kepadaku.
"Nggak titip." Aku menggeleng. "Kunci itu ketinggalan dengan Baskara saat sempat kutitipkan sebentar sama dia, tapi aku lupa Nggak tahu dia simpan di mana. Kamu ketemu di mana memangnya, Las?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ALMA
FantasyLepas kesembuhannya dari kecelakaan, Alma tiba-tiba dituduh sebagai pencuri uang kas oleh Seli, bendahara di kelasnya. Seluruh tuduhan menjurus padanya dan terdapat pula bukti yang merujuk pada aksi pencurian Alma. Namun, Alma tidak bisa mengingat p...