Prologue

28 5 0
                                    

Desember, 2022.

Ini hanya pemikiranku saja.

Sebagian orang tahu ke mana tujuannya saat ini. Sebagian orang mengerti apa yang seharusnya mereka lakukan di kemudian hari. Sebagian orang bisa dengan cepat menentukan langkah selanjutnya dari kehidupan mereka sendiri. Namun, ada sebagian orang pula yang tidak mau menghadapi kenyataan tentang apa yang sedang mereka jalani saat ini.

Mereka sibuk mencari cara untuk pergi, lari, dan keluar dari masalah dalam hidupnya tanpa ingin menghadapinya lagi. Mereka terlalu takut, malu, tak terima kalau diri mereka sendiri pernah melakukan yang semacam itu.

Padahal, itu hasil perbuatan tangan mereka sendiri.

Aku merenungkan hal itu. Siang dan malam, pagi dan sore. Tujuh hari dalam seminggu. Akhir waktu menuju tahun yang baru, nuansa natal yang kali ini tidak kurasakan keistimewaannya seperti tahun-tahun sebelumnya, terus menusukkan panah kesesakan dalam dadaku. Aku tahu, dari apa yang baru saja kusimpulkan dalam kepalaku, aku adalah salah satu dari segelintir pecundang yang ingin terus berlari, menghadapkan punggung pada perkara yang sudah sepatutnya kuhadapi.

Tuhan, dapatkah Engkau membawaku lari dari sini?

Aku janji ... setelah aku puas berlari, aku akan kembali lagi dan menghadapi semuanya dengan lebih berani.

Aku ingin lari, sebentar saja.

"Tidur saja, Alma. Perjalanan masih 3 jam lagi."

Kepalaku menoleh cepat, netraku terbuka lebar. Tidak ... bukan karena suara Papa yang tiba-tiba memecah hening dan membuatku terkejut.

"Mobil di depan, Pa," ucapku penuh penekanan. Semakin terbelalak kala menyadari jarak di antara kedua mobil ini sudah terkikis hebat.

"MOBIL DI DEPAN!"

Setelahnya, aku hanya bisa mengingat derit roda yang berbelok memekakkan telinga. Pecahan kaca di sebelahku, suara pertemuan dua benda berat yang begitu keras, goncangan yang begitu hebat. Tekanan di seluruh tubuhku membuatku sesak bukan main. Beberapa bagian tubuhku terasa dikoyak, hingga seluruhnya gelap. Kesadaranku menguap.

!!!

"Kamu ingin lari, Alma?"

Mataku terbuka, menyadari tubuhku yang tenggelam dalam tekanan air. Sekitarku bercahaya remang, tanpa permukaan, tanpa dasar.

"Aku juga ingin."

Tangan yang samar, seperti gelembung di lautan yang bersatu padu membentuk wujud. Pelan-pelan membentuk refleksi diriku sendiri.

Nyatanya, tidak hanya aku yang ingin pergi dari kenyataan ini.

Ya. Aku ingin lari.

Kuraih tangan yang samar itu. Menariknya, menggenggamnya begitu erat.

Bawa aku lari.

ALMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang