10. Yang Asli?

7 5 4
                                    

"Seli!"

Aku memang nekat. Ya ... tidak mungkin aku diam saja tanpa bertindak. Gatal sekali rasanya ingin terus berlari, mengejar jawaban apapun yang sekiranya bisa kudapati. Lagipula, aku tidak tahu apapun, sama sekali.

Seli tidak mau menoleh. Masa bodoh. Kupanggil dia berkali-kali, tidak mau menyerah begitu saja. "Sel! Seli! Aku mau ngomong!"

"Aku minta maaf, Sel!"

Baru setelah seruanku yang ini, Seli menghentikan langkahnya yang cepat. Tak lama kemudian berbalik, menatapku dengan wajah yang ditekuk kesal.

"Maaf, soal uang kas yang melibatkan kamu. Aku mau membicarakan hal penting, Sel, dan aku jamin ini bisa membantu kita mendapat jalan keluar soal uang kas itu. Aku ... aku butuh informasi. Aku lupa ingatan, aku amnesia, aku kesulitan untuk mengingat perilaku apa saja yang baru kulakukan di masa lalu. Aku yakin Bu Rosa sudah ngomong langsung sama kamu perihal itu hari ini. Iya, 'kan?"

Napasku sedikit tak beraturan. Kuakui, aku buruk dalam membujuk orang lain. Aku akan langsung mengatakan apa yang terlintas di pikiranku. Karena jika kubuat panjang lagi, aku khawatir orang itu malah meninggalkanku dan aku harus mengejarnya lagi.

Seli masih terdiam, memalingkan sorot mata namun tetap menghadap padaku. Aku membiarkannya, memberi waktu padanya entah untuk sekadar diam atau memikirkan kata-kata.

"Banyak yang pengin aku tanyakan pada kamu, Sel. Soal sistem uang kas kita di semester 1, soal loker yang kita pakai buat simpan uang kas. Aku mungkin salah di mata kamu tapi aku nggak tahu apa-apa sekarang, Sel. Gapapa kalau kamu nggak percaya sama aku, tapi setidaknya ingatkan aku soal apa yang sudah aku perbuat. Aku tetap tanggung jawab atas semua kesalahanku, aku nggak lari."

"Apa yang bisa aku beritahu sama kamu, Ma?" Seli akhirnya bersuara, melontarkan pertanyaan dengan nada yang sarkas.

"Harusnya kamu udah paham, Alma. Kamu nggak perlu pura-pura lupa sama perbuatanmu. Bukannya udah jelas? Aku memang nggak percaya sama kamu, jadi aku rasa aku nggak perlu memberitahukan apapun ke kamu."

Aku mengerutkan dahi. Rasa tidak terima menguar dalam dadaku. Aku tidak masalah jika Seli memang merasa tidak bisa memercayaiku sebagai seorang teman setelah kasus uang kas itu, tapi Seli menyenggol perihal hilang ingatanku dan menyebut aku berpura-pura. Orang ini seakan sudah benci denganku.

Aku terpaku dalam kekesalan yang tumbuh perlahan, sembari Seli yang membalikkan punggung meninggalkanku dan pergi keluar gerbang.

Aku menghela napas dengan tangan mengepal, mencoba sabar. Sebenarnya tak berselera untuk menyumpah-serapahi Seli karena aku tetap membutuhkannya sebagai sumber informasi. Dan gagal mendapatkan informasi itulah yang sebetulnya membuatku kesal.

"Pulang bareng?"

Aku tersentak. Astaga. Setelah reflek mengelus-elus dada yang hampir ditembus jantung melompat, kulayangkan telapak tangan pada Baskara yang cengar-cengir tanpa dosa. Bagaimana aku tidak terkejut? Baskara bukan hanya bersuara di belakangku, melainkan tepat di telingaku.

"Hampir keluar jantungku, Bas."

Baskara terkekeh. "Syukurlah, responmu kalem sekali. Biasanya kamu akan memukul pundakku berkali-kali sambil memaki."

Aku hanya menyeringai. Aku tak lagi heran jika Baskara atau orang lain menceritakan soal kepribadianku yang berlawanan dengan diriku yang sekarang. Aku tidak tahu apapun, jadi jika memang begitu adanya, biarlah.

"Aku dijemput Papa, Bas. Semenjak kemarin, ortuku sudah bilang aku nggak usah pulang sendiri," jelasku, nampaknya mematahkan semangat Baskara yang tadi tercetak jelas di wajahnya.

ALMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang