2. Namanya 'X'

29 6 0
                                    

"Saya sarankan, kamu cek kesehatan, Alma. Kecelakaan yang kamu alami itu tergolong parah. Bisa jadi, tubuhmu masih belum begitu baik untuk beraktivitas setelahnya. Mau kamu bersalah atau tidak, menurut saya pribadi, masih ada masalah dalam diri kamu."

Begitu ucap Pak Taufik sebelum aku diizinkan keluar ruangan. Aku masih terbayang dengan kejadian di setengah jam belakangan ini. Dari awal aku dilabrak Seli dan dia menyerangku, kemudian dijewer Bu Rosa dan dibawa ke ruang BK, pembicaraan dengan Pak Taufik, kemudian rekaman CCTV yang menunjukkan aku mengambil uang dari sebuah loker yang bahkan tidak aku ingat.

Aku sangat kepikiran, hingga tidak bisa dengan jelas menjawab beberapa pertanyaan yang temanku lontarkan. Aku butuh waktu untuk berpikir jernih tanpa intimidasi. Bila aku lebih berani, aku akan langsung berdiskusi dengan Seli. Sungguh, kalau aku sudah penasaran, aku tidak akan peduli apakah Seli akan menjambak rambutku lagi.

Pertama, yang aku dengar dari Pak Taufik, aku menjadi bendahara di semester 1, berdua dengan Seli. Namun, di akhir semester, tiba-tiba aku punya keinginan untuk mengundurkan diri, tepat di bulan November, tapi belum kesampaian.

Tentu saja kas tidak akan berjalan saat sekolah libur. Hingga tepat di akhir tahun, dalam perjalanan berlibur, aku dan keluargaku kecelakaan. Aku mengalami luka yang cukup serius, tapi seharusnya kecelakaan itu tak sampai melukai ingatan dan memoriku. Memangnya, orang hilang ingatan ada yang setengah-setengah seperti ini? Paling tidak, harusnya dia lupa satu-dua nama teman-temannya. Tetapi aku tidak sama sekali. Aku masih ingat nama mereka semua.

Nah, anehnya, aku tetap ingat kalau aku masuk anggota OSIS, tetapi tidak ingat kalau aku sempat menjadi bendahara kelas.

Lalu, bagaimana soal loker itu? Loker yang sama sekali tidak ku ingat itu? Benar-benar urusan ini, aku tidak mengerti. Aku berpikir dan berbicara seolah diriku sendiri ini adalah orang lain.

Oh, tidak. Apa jangan-jangan aku sakit mental? Sudah jadi gila? Skizofrenia? Kepribadian ganda?

Aku mau bertanya pada siapa, mau diskusi dengan siapa, aku bingung. Karena aku benar-benar tidak mengerti siapa saja yang bisa jadi terlibat dalam hal ini. Fira dan Ghea, setelah aku memisahkan diri, mereka menjauh dariku. Teman-teman lain tidak ada yang benar-benar peduli. Mereka hanya kepo, dapat dengan mudah mengorek informasi sebelah pihak dari Seli.

Bagaimana sekarang? Aku meremas jemari, terus diam duduk di bangkuku sendiri. Kelas semakin sepi di jam istirahat karena teman-teman keluar untuk membeli makan dan bermain. Aku menghela napas berat, memutuskan untuk melipat kedua tangan di atas meja, kemudian membaringkan kepalaku di atasnya.

Rasanya aku baru beberapa hari masuk. Beberapa pelajaran masih harus kukejar. Dan sekarang, aku harus menghadapi masalah perihal uang kas yang tidak aku mengerti.

Sebenarnya sejak awal masuk, aku sudah bisa melihat kalau Seli selalu tidak senang dengan kehadiranku. Wajahnya menunjukkan ketidaksukaan. Itu terlihat jelas. Kami hampir tidak pernah mengobrol. Dan sejauh ini, tidak ada yang mengungkit soal uang kas denganku. Aku juga sudah bayar kas pada Seli minggu ini. Tidak nunggak. Tidak ada alasan bagi Seli untuk membenciku kecuali karena pencurian uang kas itu. Ah, ayolah, sudah kubilang aku tidak melakukannya!

Lambat laun, saat aku memikirkan semuanya itu, aku merasa seperti sedang menjalani awal kehidupan yang asing. Kenyataan yang sedang aku hadapi saat ini ... seolah bukan milikku sendiri.

"Mbak ...?"

Aku menelan saliva yang terasa berat. Memori kecelakaan itu melintas di kepalaku. Tentang bagaimana aku melihat dengan mata kepalaku sendiri adikku yang berdarah-darah di kursi sebelah kemudi, memanggilku, sesaat sebelum aku kehilangan kesadaran. Eh?

ALMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang