20. ANJANI : Halo, Alma

8 3 3
                                    

Kalau kalian pikir aku akan bertanya pada Seli sama seperti kemarin-kemarin lagi, kalian salah.

"Kamu yang curi uang kas selama ini, 'kan?"

Kalau kalian pikir kalau aku akan menanyakan Seli di tempat yang normal seperti di lapangan misalnya, kalian salah.

Aku tahu Seli sedang di toilet sendiri. Maka, langsung kudatangi dia di sini.

Seli yang baru selesai mematikan keran wastafel lantas menoleh sembari mengerutkan dahi. "Apa maksudmu?"

"Kamu selalu pintar memengaruhi aku supaya aku jatuh dalam kesalahan yang nggak aku lakukan. Kamu bersikap padaku seolah aku adalah pencurinya. Bukannya kamu sendiri yang mencuri?"

"Kamu yang mengusulkan sistem ganti-gantian menagih, dan uang kas selalu hilang setelah aku bertugas. Tapi, hilangnya bukan setelah di tanganku. Hilangnya setelah dompet kas itu ada di tanganmu!"

"Juga soal loker. Kamu menuruti permintaan teman-teman yang padahal cuma iseng meminta loker, sedangkan urusan properti dalam kelas masih kamu tunda-tunda."

Seli masih berusaha mengubah ekspresi. Ia menyeringai remeh. "Sekarang kamu tiba-tiba menuduh karena tidak mau disalahkan? Ingatanmu sudah balik, ha?"

"Ya!" jawabku segera, balas tersenyum. "Ingatanku sudah kembali. Maka dari itu aku segera tahu, bahwa kamu pelakunya."

"Kamu pikir aku nggak tahu tentang semua yang telah kamu lakukan?"

"Nggak usah pura-pura!" Seli menyergah, mulai terlihat luapan emosi tak beraturan dari matanya yang melotot. "Mau bagaimanapun, sudah ada bukti kamu mencuri uang kas dari loker! Kamu nggak bisa mengelak lagi!"

Aku tetap terlihat tidak gentar, sudut bibirku semakin naik. Tidak perlu cemas, Seli. Aku tahu kamu ketar-ketir, tapi santai saja. Aku juga ketar-ketir. Aku sedang berurusan dengan kehidupan orang lain sekarang. Ditambah aku juga tidak tahu apa-apa.

"Kalau memang kamu menganggapku pelaku pencuri, harusnya kamu nggak takut untuk memberitahukan yang lebih jelas, bukan?" Aku maju selangkah lebih dekat lagi kepadanya.

"Kamu bahkan nggak bilang secara jelas loker itu dibuang ke mana, padahal kamu berperan penuh dalam pembuangan loker itu. Bahkan Pak Taufik dan Bu Rosa saja tidak tahu. Kamu menetapkan peraturan bahwa uang kas itu sebaiknya kita simpan di loker dengan dalih uang kas sering hilang. Bahkan setelah dimasukkan ke loker pun uang kas sering hilang, bukan? Siapa lagi pelakunya jika bukan antara aku dan kamu?"

"Terlebih, jika memang kasus uang kas hilang itu sudah membuatmu resah sejak awal, seharusnya kamu melapor lebih awal. Tapi ini tidak. Kamu membiarkan itu terjadi setiap bulannya dan selalu menyalahkanku, padahal aku tidak tahu apa-apa."

"Kamu juga melibatkan diri dalam kecurigaan orang lain terkait kasus ini, Seli. Hanya kamu saja yang tidak tahu. Kamu merasa begitu puas sudah menjebakku tanpa sadar diri kalau kamu tidak seberkuasa itu untuk mengendalikan banyak keadaan."

"AKU NGGAK MENCURI!" Seli mulai meninggikan nada suara. Napasnya mulai tak beraturan.

"Pertanyaanku sebenarnya sederhana, Sel," lanjutku mengabaikan Seli yang sudah tampak tertekan. Dari sejak aku menyebut kalau ingatanku sudah kembali, aku sudah bisa menangkapnya dari tatapan mata. Seli tidak jago berbohong. Dia hanya jago marah, berteriak, bertahan mengandalkan verbal dan menyerang secara non-verbal.

Duh, jadi malas kalau di sini nanti jambak-jambakan lagi.

"Aku cuma penasaran soal loker itu. Bukannya ... kuncinya aku yang pegang, ya, terakhir kali? Bagaimana cara kamu mengambil kembali dompet kas dalam loker?" tanyaku dengan nada sarkas. Pokoknya harus terdengar seperti aku yang paling tahu di sini, supaya Seli bisa 'tunduk'.

ALMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang