Lima belas tahun berlalu.
Setelah kehilangan yang tiada ujung, setelah kisah kelu yang tidak akan bisa dilupakan. Aku harus kembali menginjakkan kaki dan menghirup udara yang rasanya masih sama menyesakkannya.
Ini bisa menjadi sebuah awal dan akhir, bukan?
Langkah demi langkah yang kulewati, kehidupan yang memaksaku beradaptasi mau tidak mau, nyatanya membuatku dapat memetik suatu pelajaran di hari ini. Saat ini, dan sekarang ini.
Aku bebas.
Rasa haru yang menyeruak itu sebetulnya tertahan di balik hidungku yang berkelana menikmati aroma tanah basah sehabis disirami hujan. Entah sudah berapa banyak hal menarik yang kulewatkan selama mendekam di balik jeruji besi yang mengajarkanku betapa kerasnya setiap sudut dunia fana yang semakin tua.
Andaikata ada sepasang sayap di balik punggungku, aku pasti akan membiarkan tubuhku dibawa terbang sekarang juga.
Cahaya matahari terasa lebih menyegarkan. Udara sejuk yang sudah lama tidak menerpa sebenarnya membuatku sedikit bersin, tapi aku dengan cepat beradaptasi. Aku sudah pernah merasakan yang lebih dingin.
Menggendong erat ransel yang berisi barang bawaan selama lima belas tahun terakhir, satu-satunya yang kupikirkan sekarang adalah sebuah perhentian untuk mengisi perutku. Dan kulihat sebuah warung makan ayam geprek di ujung jalan sana. Aku mendesah lega. Perjalanan dengan kaki sendiri ternyata membuahkan hasil yang sepadan.
Kulangkahkan kaki yang rasanya mulai bergetar akibat lelah. Seakan tertatih, setidaknya penampilanku masih bagus untuk dilihat orang asing. Yogyakarta tidak akan pernah mengecewakanku. Sebaliknya, justru akulah yang mengecewakannya.
Dalam langkah-langkah menuju tempat makan yang beruntungnya cukup lengang, ingatanku memproses kembali tentang bagaimana dahulu pekerjaanku sehari-hari pula berada di sebuah warung makan. Bedanya, bukan ayam geprek. Hahaha.
Rasa rindu seakan mengikis dada. Tapi aku sudah kenyang akan air mata. Memangnya, aku bisa berbuat apa? Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, bukan?
Setidaknya, ada suatu perasaan yang menguatkanku untuk menjalani hari-hari penuh tekanan dan dosa.
Tanggung jawab.
Aku pun tidak pernah menyangka. Kata tanggung jawab adalah kata yang mudah diucapkan baik oleh orang paling kejam dan masa bodoh. Tapi serius, itulah yang menguatkanku.
Walau keadaan mungkin telah membesarkanku seperti ini, aalau keadaan sudah menjebakku dalam penderitaannya sendiri, aku tidak akan bisa protes dan mengubah takdir.
Aku di hari ini, adalah hasil dari pilihanku di masa lalu.
Jadi, apa yang kudapatkan sekarang, adalah tanggunganku atas masa lalu.
Pengertian yang semua orang mengerti, tapi tidak akan semudah itu menerapkannya.
Aku sudah sampai tepat dua meter di depan gerbangnya yang terbuka. Aroma ayam goreng yang menggiurkan membuat tubuhku langsung bereaksi meminta 'pertolongan'. Aku mempercepat langkah, mulai masuk, mengejar nikmat yang satu-satunya berada di kepalaku, yaitu ayam geprek—
"Anjani?"
Aku tersentak. Menoleh cepat. Kurang lebih, mataku bereaksi sama seperti matanya. Yang berbeda adalah keningku yang tidak bertaut sempurna bersama alis tebal yang rapi.
Aku kenal orang ini.
"Dayat?"
Lirihanku tidak ia jawab apa-apa selain oleh dekapan yang terlalu tiba-tiba. Menenggelamkan tubuhku sepenuhnya dalam pelukan hangat seorang pria pemilik tempat tersendiri dalam dadaku yang sudah selama lima belas tahun tidak bisa menghiburku dengan suaranya yang lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALMA
FantasyLepas kesembuhannya dari kecelakaan, Alma tiba-tiba dituduh sebagai pencuri uang kas oleh Seli, bendahara di kelasnya. Seluruh tuduhan menjurus padanya dan terdapat pula bukti yang merujuk pada aksi pencurian Alma. Namun, Alma tidak bisa mengingat p...