"Aduh, pintunya nggak bisa dibuka!"
Keluhan Laskar memicu ingatanku untuk segera tanggap akan Anjani yang bercerita padaku saat ia menghampiri rumah ini. Tanpa ragu, aku berlari di lorong tembusan menuju gang sebelah, berlari ke belakang rumah, tempat di mana sebuah kunci bisa ditemukan di pot bunga yang sudah retak-- seperti apa kata Anjani.
Gotcha! Aku menyeringai puas. Kembali berlari dengan membawa harapan kalau kunci itu akan efektif pada pintu depan.
Dan lagi, aku mengucap beribu syukur. Kunci itu benar-benar berfungsi. Kubuka langsung pintu itu, nyaris melangkahkan kaki masuk sebelum Laskar mencegatku setengah kasar.
"Jangan gegabah, Alma! Lihat-lihat sekitar, gimana kalau ada orang jahat?"
Aku menjeda, sesaat merasakan napasku yang jauh dari kata normal. Laskar benar, jangan terlalu terburu-buru. Aku bertatapan dengannya beberapa saat, membulatkan tekad untuk memeriksa dengan perlahan.
Kepala kami mulai melongok bersama, mengecek, dengan tangan Laskar meraba-raba dinding terdekat. Ia menatap padaku saat merasakan sesuatu.
"Saklar," bisiknya. Aku mengangguk sebagai isyarat, tekan saja.
Begitu saklar itu Laskar tekan, bukannya menarik cahaya dari lampu bohlam yang terpasang di langit-langit, malah aku dan Laskar yang ditarik dan dihempas oleh seseorang dari belakang.
"Bocah-bocah tengik! Selalu saja mengusik!"
Tubuhku dan tubuh Laskar sama-sama mendarat di jejeran pot bunga rusak yang di belakangnya terdapat pohon sirsak kecil. Aku terpejam, meringis merasakan tekanan hebat di punggung dan belakang kepalaku. Laskar pun sepertinya sama. Dari suara keluhan yang ia keluarkan aku bisa menebaknya.
"Padahal kalau kalian gak ikut campur lebih dalam, kalian dan kami sama-sama tak perlu repot." Seseorang dengan suara berat yang jernih itu masih meninggikan nada setengah membentak. Aku seperti ingat dengan suara ini, tapi tidak kenal.
Mataku segera terbuka untuk melihat bahaya yang akan datang. Hingga kutemukan mereka. Bukan lagi tiga seperti hari itu, melainkan lima.
Lima laki-laki dewasa berpakaian hitam bersama masker warna sama yang menutup identitas mereka. Aku dan Laskar saling menoleh, menelan ludah masing-masing, memikirkan keselamatan diri sendiri.
Habislah kami sekarang.
"Hei, yang satu ini mirip sekali sama bocah itu." Salah satu dari mereka mendekati Laskar, meraup dagunya dengan begitu kasar. Laskar tampak begitu ketakutan di sebelahku sekarang, bahkan aku sendiri turut merasakan atmosfer ketakutan itu.
"Kamu pasti keluarganya, ya?"
"Bego! Sudah mirip begitu tidak mungkin cuma keluarga. Kembaran!"
"Oh, iya!"
Satu lagi menghampiri dan berjongkok di sebelah temannya yang masih memegang Laskar dengan kasar. Dari matanya yang menyipit, aku bisa merasakan kalau sekarang dia sedang menyeringai lebar.
"Katanya, saudara kembar itu tidak boleh terpisahkan. Mereka akan selalu bersama. Jadi, bagaimana jika kubuat kau menyusul kembaranmu sekarang?"
Tubuhku ikut bergetar karena rasa takut yang besar. Nada ancaman yang bengis itu seakan merasuk begitu dalam. Dan satu hal yang kusadari betul, Baskara sekarang sudah tiada.
Harusnya ... harusnya aku sudah belajar menerima kenyataan itu dari awal.
Aku selalu memegang teguh harapan bahwasanya Baskara pasti akan bertahan, Baskara mungkin disiksa di sana tapi aku yakin ia bisa bertahan. Tidak mungkin ia akan mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALMA
FantasyLepas kesembuhannya dari kecelakaan, Alma tiba-tiba dituduh sebagai pencuri uang kas oleh Seli, bendahara di kelasnya. Seluruh tuduhan menjurus padanya dan terdapat pula bukti yang merujuk pada aksi pencurian Alma. Namun, Alma tidak bisa mengingat p...