Part 18

90 35 12
                                    

Hari ini merupakan hari yang menyenangkan bagi Nesya, karena rasa rindu terhadap papanya sudah terbayarkan.

Saat ini, Nesya sedang duduk bersama Afka-Papanya di taman belakang sembari berbincang kecil. Sudah hampir satu bulan Afka meninggalkan anak gadisnya, ia cukup penasaran dengan hal-hal yang dialami oleh gadis itu belakangan ini—tanpa dirinya.

"Sekolah kamu gimana, Nes? Kok tumben Papa nggak dapat pesan cinta dari guru BK mu lagi?" Tanya Afka sembari menyeruput kopi panas kesukaannya.

Pesan cinta yang dimaksud oleh Afka adalah surat panggilan dari guru BK terkait kenakalan yang dilakukan oleh anak gadisnya itu.

Nesya mengerucutkan bibirnya, "Ih Papa, anaknya udah nggak berulah lagi harusnya tuh seneng, bukannya malah heran."

"Ya kan Papa penasaran. Biasanya nih, ya, seminggu sekali Papa dapat chat dari guru kamu itu—ngabarin kalau kamu ngelanggar peraturan."

"Sekarang aku udah tobat, Pa," balasnya yang membuat Afka mengernyit heran.

"Kok tumben?"

"Ish, harusnya Papa senang anaknya udah obat!"

"Tiba-tiba gitu? Curiga Papa," ucapnya sembari memicingkan matanya ke arah Nesya yang duduk di hadapannya.

Nesya mendadak gugup kala mendapati tatapan Afka yang curiga terhadapnya, "A-apasih, Papa? Kenapa tatapannya begitu coba?"

Afka terkekeh, "Kamu lagi suka sama seseorang, ya?" Tanyanya yang membuat tubuh Nesya menegang.

"H-hah? E-enggak, ya!"

"Ngaku aja, Nes. Biasanya modelan kayak kamu ini baru bisa berubah karena seseorang."

"Sok tau ih Papa!" Sungutnya kesal.

Padahal dalam hati sih iya.

"Lho, Papa serius. Dulu Papa sama kayak kamu bandelnya. Tapi waktu ketemu mama, Papa jadi tobat, nggak pernah bandel lagi."

"Tuh, kan! Sekarang aku jadi tau kenapa aku bandel gini," katanya sambil menatap Afka, "itu karena, bandelnya aku nurun dari Papa!" Serunya sembari tertawa.

Afka berdecak kesal, "Yang jeleknya aja nurun ke Papa, selalu gitu," ujarnya sembari menggelengkan kepalanya heran, "tapi serius, kamu lagi dekat sama cowok nggak? Terakhir yang Papa tau kan kamu sama Dirga," tanyanya penasaran.

Padahal udah tau ya om? Xixi

Nesya terdiam, di kepalanya terputar memori dirinya bersama Rasen yang semakin dekat belakangan ini. Tapi, apakah itu bisa dibilang sedang dekat? Batinnya bertanya-tanya.

"Ayo dong anak Papa cerita," cecar Afka.

Raut wajah Nesya berubah menjadi sendu, "Sebenarnya ... Aku lagi suka sama seseorang," cicitnya pelan.

"Lalu? Kok mukanya sedih gitu? Dia nggak suka kamu?"

Nesya menggeleng cepat, "Bukan, Pa. Tapi kayaknya dia anggap aku teman aja."

Afka mengangguk mengerti, "Tapi kamu udah coba mendekat ke dia?"

"Udah. Tapi aku baru dekat sama dia beberapa minggu ini," ujarnya sembari menghela napas pasrah. Entahlah, dia berpikir bahwa cintanya hanya sebelah tangan—sepihak.

"Siapa namanya? Terus, kerja apa orang tuanya?"

Deg

Ini yang Nesya takutkan.

Keluarga Nesya sangatlah selektif dalam memilih pasangan untuk anaknya—meskipun masih tahap pacaran. Tapi yang jelas, kedua orang tuanya sudah tau pahitnya kehidupan, maka dari itu, mereka tidak ingin anak gadis satu-satunya turut merasakan hal itu.

"Memangnya sepenting itu ya pekerjaan orang tuanya?"

Afka mengangguk. Kini, raut wajahnya berubah menjadi serius, "Penting bagi Papa."

Nesya menghembuskan napasnya resah, "Kenapa penting, Pa? Kan, yang penting aku dapatin seseorang yang nerima aku apa adanya, baik sama aku, dan nggak suka main fisik. Itu udah cukup, kan?"

"Itu aja nggak cukup, Nesya. Memangnya kamu mau hidup serba kekurangan, yang setiap harinya cuma makan kata-kata 'cinta'?" Tanya Afka datar, "dikasih makan tempe dan tahu aja kamu nggak mau. Dulu, setiap berkunjung ke rumah Nenek, belum ada satu hari aja kamu udah nangis minta pulang karena nggak betah tinggal dilingkungan seperti itu. Gimana nantinya kalau menikah?" Lanjut Afka mencoba memberi pengertian kepada anak gadisnya itu.

Raut wajah kecewa terpampang di wajah digadis itu, "Tapi kan itu dulu, Pa. Sekarang, Nesya udah berubah. Dan itu semua karena Rasen," jelasnya dengan sendu.

"Oh, jadi Rasen namanya?"

Nesya mengangguk lemas.

"Papa nggak setuju kamu sama dia!" Tegas Afka sekali lagi.

"Pa, Rasen itu baik anaknya. Dia penyayang banget, sayang sama adik-adiknya. Dia bahkan tipikal cowok yang mandiri dan pekerja keras. Dia kerja dari pagi ke pagi untuk menghidupi adik-adiknya. Aku suka sama dia yang sederhana, bukan yang kayak Dirga—ngandelin duit orang tuanya."

"Pokoknya, Papa tetap nggak setuju kalau kamu pacaran sama dia—bahkan sampai nikah," ucapnya penuh penekanan.

Nesya memegang kedua tangan Afka, menatap penuh harap ke arah Papanya. "Sekali ini aja, Pa, please ..."

"Nggak, Nes."

"Pa," lirih Nesya.

Afka menghela napas dan beranjak dari kursi yang ia duduki tadi, "Kalau begitu, besok bawa dia ke rumah. Papa mau kenalan dan mau nilai secara langsung sepeti apa Rasennya kamu itu." Ucapnya sembari masuk ke dalam rumah.

Nesya gelagapan, bagaimana caranya ia membawa Rasen ke rumahnya? Harus menggunakan alasan apa agar Rasen mau datang?

"Pa, gimana caranya aku bawa dia ke sini? Dia aja nggak tau aku suka sama dia!" Teriak Nesya frustasi.

Bersambung...

Jangan lupa like&komen yaa bebzss🫶🏻🫶🏻🫶🏻



Jakarta, 08 Oktober 2023

Rasendra; i love you, but.. [TERBIT] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang