Pagi ini terlihat begitu ramai, namun, terasa sepi bagi seorang gadis dengan jaket pink yang melekat di tubuhnya—menutupi seragam sekolah putih abu-abu.
Beberapa hari ini, dunianya terasa sepi. Gadis itu kerapkali mengasingkan diri dari keramaian yang tercipta di lingkungan sekolah. Padahal, berkali-kali teman-temannya berusaha untuk mendekat—namun gadis itu enggan.
Gadis itu masih gigih untuk mendekat ke arah cowok yang wajahnya selalu melekat di kepalanya. Berusaha meyakinkan cowok itu, bahwa ia ingin terus bersamanya—meski dalam keadaan sulit sekalipun.
Nesya sudah merasakan hidup dipenuhi dengan kemewahan. Akan tetapi, dirinya tidak bahagia dan terus merasa sepi. Berbeda halnya dengan cowok yang ia sayangi, hidup sederhana dengan penuh kebahagiaan. Itu yang di mau oleh gadis cantik bernama Anesya.
Nesya menghela napas kasar, ia berdiri di depan kooridor kelas—menunggu cowok itu tiba. Saat merasakan kedatangan cowok itu, Nesya lantas menghampiri dan berusaha mengajaknya untuk berbicara.
"Rasen," panggil Nesya kala melihat Rasen yang sudah berjalan ke arah kooridor kelas.
Rasen menghela napas pasrah, berkali-kali ia bertekad untuk menjauhi gadis itu. Akan tetapi, gadis itu selalu aja menghampirinya—seolah tak mau jauh-jauh darinya.
Rasen hanya memberikan senyum tipis dan melewati Nesya begitu saja.
"Sen, tunggu." kata Nesya sembari menyamakan langkahnya dengan langkah kaki cowok itu.
"Sya, tolong jangan kayak gini," ujar Rasen sembari menghentikkan langkahnya—menatap gadis disebelahnya dengan lelah.
"Kenapa?" Lirih Nesya pelan.
Rasen mengusap wajahnya kasar, "Jangan merendahkan diri kamu dengan cara kayak gini hanya untuk aku," ujarnya menatap lelah ke arah Nesya, "aku nggak bisa lihat kamu kayak gini," lanjutnya dengan suara tertahan.
Nesya menatap dalam mata hitam milik Rasen, "Kalau gitu jangan jauhin aku," sahutnya.
"Nggak bisa, Sya. Aku harus sadar diri untuk dekat sama kamu."
Nesya menggeleng pelan, "Kamu pantas, Sen. Tolong, jangan masukin ke hati kata papa aku."
Rasen menatap sendu gadis itu, tangannya terulur membelai wajah cantik milik Nesya. "Perkataan papa kamu ada benarnya, Sya. Aku yakin kamu bisa dapatin yang lebih baik dari aku," ujarnya sembari tersenyum tipis.
"Nggak ada yang lebih baik dari kamu."
"Ada. Pasti ada."
"Sen ..."
Rasen tersenyum tipis, perlahan-lahan tubuhnya berjalan—menjauh dari gadis itu. Meninggalkan Nesya dengan rasa sesak di dadanya.
Nesya menghela napas lelah, sebentar lagi hari ulang tahunnya, akankah ia merasakan kesedihan yang sangat mendalam lagi seperti tahun-tahun sebelumnya yang hanya ia rayakan sendirian, tanpa adanya sosok orang tua dan teman disisinya.
Dari kejauhan, ada sosok cowok dengan seragam yang tidak rapih tengah menonton pertunjukkan yang memuakkan baginya. Tangannya mengepal kencang, ada rasa tidak rela melihat gadis itu seperti mengemis cinta ke cowok yang dianggap 'rendah' olehnya.
*****
Langit sore kini tampak menghilang—tergantikan oleh langit gelap dengan cahaya bulan yang perlahan menerangi bumi.
Cowok dengan kostum badut terduduk di bangku yang ada di teras rumah sembari memperhatikan kaleng bekas yang berisi beberapa lembar uang kertas dan uang koin.
Rasen tersenyum. Tak lupa mengucap beribu-ribu syukur atas rezeki yang diberikan oleh Tuhan untuknya hari ini. Ya, hari ini Rasen mendapatkan uang yang lumayan banyak. Padahal, ia baru keluar sekitar 3 jam—sejak pulang sekolah.
Rasen tersenyum menatap lembaran kertas ditangannya. Dirinya teringat akan tanggal special dari gadis yang beberapa hari ini ia jauhi. Rasen sempat berpikir untuk membelikan sebuah hadiah sederhana untuk gadis itu. Tapi, dirinya terlalu takut jika hadiah itu tidak diterima oleh gadis itu karena harganya yang tak seberapa. Terlebih lagi, gadis itu pasti akan mendapatkan banyak hadiah dengan nilai yang mewah.
"Kok duitnya dilihatin aja, Bang? Nanti ilang, lho," kata Aluna terkekeh pelan.
Rasen tersentak kaget, "Kamu ngagetin aja, Lun," jawabnya sembari memegang dadanya.
Aluna mendudukkan dirinya di bangku sebelah Rasen. "Kenapa dilihatin doang?" Tanyanya penasaran.
Rasen berdeham, membetulkan posisi duduknya. "Menurut kamu, hadiah apa yang pas untuk cewek?"
Kening Aluna berkerut, "Hadiah? Buat kak Nesya?" Tebak Aluna yang sudah pasti jawabannya benar.
Rasen mengangguk singkat.
"Lho, sebentar lagi kak Nesya ulang tahun?" Tanyanya dengan raut wajah berbinar.
"Iya, tapi Abang bingung mau kasih hadiah apa."
"Bukannya Abang lagi ngejauhin dia, ya? Kok ngasih hadiah segala?"
Rasen menghela napas, "Meskipun Abang lagi menjauh, tapi bukan berarti Abang nggak peduli, kan?" Tanyanya menatap Aluna, "Abang nggak mau dia ngerasa sendiri dan sedih di hari specialnya. Tapi, Abang juga takut dia nggak nerima hadiah dari Abang karena harganya yang nggak seberapa," lanjutnya dengan senyum yang dipaksakan.
"Lho, nggak gitu lah, Bang! Pasti diterima sama kak Nesya, aku yakin!"
"Tapi Abang bingung harus kasih apa."
Aluna mengangguk mengerti, "Kak Nesya pernah bilang ingin sesuatu nggak? Kayak barang, tempat, atau apa gitu?" Tanyanya yang dibalas gelengan kepala oleh Rasen.
"Tapi dia pernah bilang ..." ujarnya sejenak sebelum mengingat kembali percakapan kala itu, "kalau dia ingin waktu," lanjutnya dengan kening yang berkerut—memikirkan maksud dari perkataan gadis itu saat itu.
"Maksudnya, waktu seseorang gitu, ya?" Tanya Aluna.
"Mungkin aja."
Aluna menghentakkan jari telunjuknya di wajah, dirinya mendapatkan sebuah ide yang sangat bagus untuk Abangnya itu berikan kepada Nesya.
"Aku ada ide, Bang," ujarnya sembari tersenyum senang.
Bersambung....
Jangan lupa like&komen ya bestiee🫶🏻🫶🏻🫶🏻
Yuk, mampir di instagram ku @wp.sippyteaaa
Jakarta, 11 Oktober 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasendra; i love you, but.. [TERBIT] ✔️
Dla nastolatkówBagaimana rasanya mencintai seseorang yang pernah melakukan _bullying_ pada kita? Bagaimana rasanya mencintai seseorang yang pernah bersikap sangat buruk pada kita? Bagaimana rasanya merindukan seseorang yang pernah menjadi momok mengerikan dalam hi...