Aku, Kamu, dan Sepeda.

109 14 12
                                    

Hai, berhubung cerita Rasen ini sedang masa pre-order, dan aku yang sedang kangen berada di fase menulis tentang kisah Rasen & Nesya, jadi sekarang aku mau update part dari sepenggal adegan yang gak romantis, tapi mengesankan bagi keduanya.

Kuharap, kalian suka sama part ini ya! Btw, ini part yang nantinya akan ada di novel, sengaja aku spoilerin dikit.

Jadi, buat yang belum pesan novelnya, bisa pesan sekarang juga! Infonya akan aku kasih di bawah, ya! Happy reading!🫶🏻

"Kamu tahu? Tadi aku ke ruang BK untuk lapor kasus tadi dan Bu Lala bilang, sebelum aku yang datang, udah ada seseorang yang datang untuk laporin kasus itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu tahu? Tadi aku ke ruang BK untuk lapor kasus tadi dan Bu Lala bilang, sebelum aku yang datang, udah ada seseorang yang datang untuk laporin kasus itu. Dan orang itu berhasil bikin Bu Lala menghukum para pelaku. Artinya, orang itu cukup berpengaruh di sekolah ini, 'kan?"

Sepasang mata Rasen terbelalak. "Kamu ke ruang BK untuk lapor? Kan aku udah bilang kamu nggak perlu–"

"Itu udah kelewatan dan harus ditindak tegas!" jerit Nesya jengkel.

Rasen hanya menghela napas. Ia begitu takut terjadi sesuatu seandainya cewek itu ikut campur dengan urusannya. Terlebih lagi ia telah menjadi bahan lelucon satu sekolah. Semua orang menikmati saat ia berada dalam masalah yang ditimbulkan orang lain. "Makasih, ya, Sya," ujarnya sembari tersenyum tulus.

Nesya mengangguk singkat. "Karena aku sudah pernah bilang kalau aku mau berubah jadi orang yang lebih baik dan berhenti jadi pelaku bullying, aku mau buktiin itu. Talk less, do more, right?"

Di sebelah Nesya, Rasen mengangguk halus. Cowok itu hanya tersenyum tanpa mengatakan apa-apa. Bibirnya terkatup rapat, matanya memandangi sepedanya yang belum sedetik pun disentuh Nesya. Melalui tatapan dan keenggananya bersuara, cowok itu seakan-akan memiliki dunianya sendiri dan berharap Nesya membaca pikirannya.

Tanpa sempat Rasen bersuara, Nesya lebih dulu bersuara dan bergerak. Cewek itu meraih sepeda yang muram di parkiran itu dan menduduki sadel paling depan.

"Ayo, naik," ajaknya, menunjuk boncengan tidak nyaman di bagian belakang dengan gerak mata dan ujung dagunya. "Kamu mau naik sekarang atau mau nunggu sampai salju turun di Indonesia yang nggak mungkin turun salju?"

Rasen menatap boncengan di belakang, menunjuknya ragu-ragu. "Kamu yang kayuh sepedanya?" tanyanya ragu.

Nesya mengangguk mantap. "Yap," jawabnya tanpa keraguan. "Begini-begini aku ahli naik sepeda. Walaupun enggak pernah menang lomba balap sepeda antarsekolah, aku pernah menang lomba balap sepeda antarkeluarga besar.  Keahlianku naik sepeda setara keahlian Valentino Lorenzo naik motor saat balapan."

Rasen tertawa. "Valentino Rossi, Jorge Lorenzo, Sya. Bukan Valentino Lorenzo."

Nesya menggaruk sebelah pipinya yang tidak gatal, tersenyum malu-malu dengan rona merah menjalari pipinya bersamaan dengan rasa hangat yang merambat naik. "Mm-hm, apa pun namanya, intinya mereka. Aku sehebat mereka. Jadi, ayo naik. Atau kamu beneran mau nunggu sampai salju turun?"

Rasendra; i love you, but.. [TERBIT] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang