Hari Kedua, Rabu - 1

58 10 8
                                    

—Fadila

Hari terus berlalu; rutinitas sekolah Fadila Rahmah dimulai. Aku (macam seorang murid sehat pada umumnya) dibuat bosan. Wancana pemerintah buat menambah waktu wajib belajar jadi dua belas tahun itu keterlaluan, kurasa.

Di suatu pagi yang cerah, Fadila Rahmah datang ke sekolah dalam balutan seragam batik lama, perban dilepas dari wajah cantiknya. Dengan anggun dia berjalan menyusuri lorong, masuk ke kelas, dan menyapa: "Pagi!" Tak ada jawaban.

Sejumlah anak kelas malah memutuskan untuk memberiku tatapan kosong. Itu menyakitkan, asal tahu saja. Terutama yang satu itu, tuh, yang pakai kacamata. Dia kelihatannya mengira diriku orang gila baru. Seandainya aku bukan gadis penyabar, mungkin sudah kucolok pula matanya.

Kududuki bangku keramatku. Benda rongsok itu seketika bergoyang tak ubahnya odong-odong. Reyot bukan kepalang, memang. Kenapa pula aku tak dikasih bangku yang lebih layak? Oke, Fadila Rahmah emang bukan jenis murid rajin yang butuh bangku bagus supaya bisa fokus kejar prestasi, tapi .... Anjing. Aku bayar SPP, cok!

Kutendang jengkel mejaku. Kelakuan barbar. Tanpa sengaja itu buat kursi depan terdorong jatuh. Oke. Aku melirik sekitar, berharap tak ada saksi mata atas kejahatanku .... Orang-orang menatapku. Semuanya. O-oke. Buru-buru kubalikan kursi yang jatuh ke posisi semula.

Tak lama kemudian bel berbunyi. Guru masuk. Absen. Macam kemarin, orang yang tak hadir ada dua. Ahmad Zaki, tanpa keterangan (alias bolos). Raisa Uktala, tanpa keterangan (secara harfiah tanpa keterangan, berhubung nama dilewat begitu saja). Aku makin penasaran. Kenapa?

Jika situasinya normal, aku tak bakal aneh. Kali saja si Raisa memang tak ada di kelas ini. Pindah, mungkin? Di DO gara-gara isep kecubung? Cuti bunting? Yang jadi masalah adalah ... reaksi orang-orang di sekelilingku. Canggung, resah, takut. Mereka macam yang ogah betul menyinggung tentang keberadaan Raisa. Itu baru aneh. Maksudku ... bahkan andai si Raisa memang hamil, orang-orang tetap bakal menggibahnya. Itulah tujuan bacot diciptakan. Untuk menggibah.

Sebab terlalu banyak mikir, aku mulai keroncongan. Maklum, Fadila Rahmah masih dalam masa pertumbuhan. Tubuh dia butuh banyak nutrisi. Terutama di dada dan pinggulnya. (Aku punya bahan jadi wanita seksi, memang.) Oleh karenanya, demi kebahagiaan suamiku di masa depan, aku terpaksa mesti mengabaikan pelajaran dan fokus ke asupan nutrisi. Aku mulai memasak Pop Mi-ku.

Anjir! Memang kira kalian aku mau makan apa? Keripik? Cokelat? Gorengan? Gak elit banget. Hal lemah macam begitu bisa kulakukan di bangku depan sana, tepat di depan guru. Barisan belakang macam begini hanya diisi kesatria-kesatria pemberani.

Kupantau situasi. Tampak pak guru yang masih sibuk bercumbu dengan papan tulis. Aman. Gesit dan gemulai, aku merosot turun dari kursiku, merayap ke belakang kelas, mencolong air panas dari dispenser. Aku kembali sebelum ada orang yang menyadari. Gampang. Sekarang bagian paling sulitnya: menunggu. Perutku bergemuruh, khayalku melayang, dan mulutku becek oleh liur. Sabar, sabar.

Tapi tentu saja, jadi berani bukan berarti tak pernah gagal. Jadi berani berarti sudi untuk gagal.

Aku langsung menyadari kesalahanku begitu membuka tutup Pop Mi-ku. Oh .... Di depan, guruku menghentikan percumbuannya dengan papan tulis, hidung mengendus-endus udara. Sesaat dia bingung, sesaat berikutnya dia berbalik, melongo.

"...."

Kucoba pasang tampang watados terbaikku. Sayang aku terlalu cantik dan manis dan seksi dan anggun dan fantastik untuk bisa lepas dari perhatian dunia. Si guru langsung saja melotot padaku. Dengan kumis macam belukar liar begitu, dia mengingatkanku pada Pak Raden.

"Kamu lagi ngapain?" tanyanya, nada suaranya lebih kedengaran terguncang ketimbang marah.

"Belajar?"

Pak Raden tak kelihatan percaya. "Itu apaan di kolong meja kamu?"

Kuintip kolong mejaku. Ada Pop Mie. "Eeh ... buku?"

"...."

"Oke. Maaf, Pak."

"...."

"Isinya sampah. Janji aku bersihin nanti."

Pak Raden melompat dan lari ke arahku. Aku tak kalah gesit. Buru-buru kusembunyikan Pop Mie-ku ke balik rok, menjepitnya di antara paha mulusku. Aw. Ini lebih panas dari yang kukir—Aw. Awww. AWWWWWWWW! Duh Gusti! Inikah rasanya diperawani? Sooo hot!

Entah bagaimana, kupikir guruku memergok kelakuanku. Dapat dilihat dari dirinya yang langsung terdiam, melotot, membeku dan membisu. Kupikir dia bingung mesti berbuat apa. Kupikir dia baru pertama kali ini punya murid macam diriku. Kasihan.

"Siapa nama kamu?" tanyanya akhirnya.

"Ningsih, Pak."

"Bisa kamu keluar?"

"Da-daulat."

Singkat cerita, aku keluar. Penasaran apa yang anak kelas pikirkan soal cara jalanku. Aku sendiri teringat pada penguin. Begitu pintu tertutup, buru-buru kukeluarkan Pop Mie dari balik rokku. Anjir panas. Sambil menggosok paha, kuseruput kuah mi langsung dari bibir gelas plastik. Anjir mantul.

Dikeluarkan dari kelas tak lagi jadi perkara buatku. Aku jenis murid yang kalau dihukum langsung gerak tanpa protes. Disuruh lari? Oke. Disuruh push-up? Siapa takut? Disuruh balik? Ya sudah, aku balik. Aku tak pernah minta keringanan. Tak pernah buat alasan. Orang yang memohon-mohon pada guru buat dimaafkan itu entah kenapa ... terkesan banci.

Tak lama kemudian, keringat membasuh tubuhku. Panas .... Dan lagi, pedas .... Kulepas kerah atasku, kugulung lengan bajuku, dan kukipasi bagian dalam rokku. Iklim negara tropis itu neraka kalau sedang begini. Coba saja kalau turun salju. Salju dan Fadila bakalan cocok kalau disandingkan. Sebab sama-sama putih, halus, dan polos, kurasa.

Kulempar gelas Pop Mie-ku ke lantai. Sebelum kalian meneriakiku sebagai pencemar lingkungan, mari bahas topik yang lain. Gadis di depan sana, contohnya. Seorang siswi, berperawakan mungil dengan kaki lincah. Rambut lembut sebahunya berayun tatkala dia berlari ke arahku. Wajah lugu tampak panik. Karena suatu alasan, dia masih mengenakan ransel pink besar miliknya. Karena suatu alasan ... mungkin kesiangan.

Dia menginjak gelas Pop Mie-ku dan jatuh.

Aw. Jangan ada yang bilang kalau itu sampahku. Awas saja. "Kamu okey, Beb?" tanyaku. Tak ada jawaban. Si gadis diam saja. Macam orang mati .... Dia gak beneran mati, kan? "Beb?"

Lama aku menunggu, tapi sebab tak ada reaksi, kucoba untuk menggerepe bokongnya. Si gadis menjerit histeris. "Nga-ngapain kamu, bego!" Buru-buru dia bangkit, berguling menjauh.

Oh. Hidup. Syukur. Sempat kukira aku bakalan ngerasain ngeringkuk di bui. "Kesiangan, Beb?"

Si gadis terkesiap sadar. "Bener!" Buru-buru dia bangun, memperbaiki posisi ransel pinknya, lalu lari ke dalam kelas ... atau setidaknya begitulah niatnya. Tapi tak semudah itu Ferguso. Ini kesempatan bagus untuk menggali informasi. Tak boleh dilewatkan.

Kurentangkan kakiku. Sontak si gadis tersandung, lalu jatuh. Untuk kedua kalinya.

"Kamu!" Si gadis mendongak. Kening dan hidungnya tampak merah sehabis mencium lantai. "Ka-kamu lagi ngapain, sih! Sakit, bego!"

Dia marah? Dia marah, kah? Sama sekali tak menakutkan. Suaranya cempreng macam bocil. Andai dia sampai mengamuk pun, kukira aku bisa dengan mudah membantingnya ke dalam tong sampah. "Nama kamu siapa?"

"...."

"Kalem, kalem. Gak usah takut. Aku baik, kok!" Aku melompat, ambil posisi jongkok tepat di depan wajah si gadis. "Nama kamu?"

Si gadis memekik, tubuh beringsut panik buat menjauh. "I-Iqla."

"Aku Fadila."

"Ta-tau, kok ...," cicitnya. Imut. Dia imut. Macam hamster. Aku tidak imut. Orang tak bisa jadi seksi dan imut secara sekaligus, sayangnya.

Macam orang cabul, kubelai-belai wajah Hamster. Kuusap pipinya, kucolek hidungnya, kusisir rambutnya. Gak tau kenapa aku lakuin itu. Sekarang aku jadi kelihatan jahat. "Sebelum kamu masuk kelas ... boleh dong kita ngobrol dikit?"

"Eh?" []

Mayat yang Berjalan (ed. revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang