Prolog

145 15 28
                                    

Namaku Fadila Rahmah, 15 tahun. Seminggu lagi, aku akan modar.

Tapi sebelum kau mikir macam-macam, aku camkan genre cerita ini bukanlah menye-menye. Kau tau ... seorang gadis cantik menderita ambeien kronis, umur tinggal menghitung hari, ketemu cogan, bermesraan, mati, nangiiiiiiiiis. Cengeng abis. Tidak. Ini cerita misteri, penuh seluk beluk rumit dan fakta yang terselubung. Tentang mayat yang berjalan. (Gak. Yang gue maksud bukan zombie. Lo pengen liat bangke jalan yang suka gigit sebab kena rabies, sana minggat ke Umbrela Coporation.)

Misteri muncul saat aku pindah sekolah, tapi cerita dimulai jauh sebelum itu, ketika kedua orang tuaku bercerai. Iya, mereka cerai. Untuk suatu alasan, mereka tak pernah akur bahkan barang satu hari pun. Bertengkar dan bertengkar. Marah dan marah. Tidur terpisah-pisah, makan juga sendiri-sendiri. (Kuyakin terakhir mereka mengentot satu sama lain adalah ketika membuatku, dan itu pun karena keduanya teler.)

Jadi, pada suatu pagi yang ajaib, kudapati ibuku yang menuangkan kopi untuk ayahku. Pemandangan langka. Segera saja kuledek mereka. Cieeee! Mesra bingitz nii yeeeee! Alamat ade baru, nieeeech! Piw piw! Cuit cuit! Prikitiw!

Aku pikir mereka kelewat baper, sebab esok paginya, keduanya setuju bercerai. (Aku baru berusia 13 saat itu.)

Mereka mengurus harta gana-gini dan memperebutkan hak asuhku. Ayahku menang, jadi dia seret aku ke rumah barunya dan melarangku bertemu Mami ... eeh ... maksudku Ibu. Selang tiga bulan, laki-laki berengsek itu menikah lagi. (Awas aja lo ya. Gue kasi perhitungan lo entar. Eem ... kali 10 taun lagi.)

Lanjut ke kehidupan broken home-ku. Percaya atau tidak (awas aja kalo enggak) dulunya aku ini gadis feminin. Asli! Putih, lemah, cengeng, aku serupa seorang princess. Sayang sekarang tidak lagi. Mesti diakui, semua keanggunanku itu kini sudah berkurang.

Ibu tiriku usianya cuma beda 10 tahun denganku. Tak berarti dia sering menyiksaku. Aku bukan jenis manusia cuma bisa menjerit-jerit waktu ditindas orang. (Lagian ini bukan sinetron Rintihan Anak Tiri. Macam yang aku bilang, ini cerita misteri.) Kami cuma tak akur. Saking tak akurnya, bertengkar pun kami tak pernah. Kalau bertemu, kami menjauh; kalau bicara, seperlunya. Kami tak bisa dibilang saling benci. Mungkin lebih ke saling tak peduli.

Sebab kehilangan tempat bermanja, jiwa femininku lama-lama layu. Aku berhenti tersipu, berhenti gunakan "aku-kamu", berhenti menggerai rambutku—yang mana kini kupotong dengan kater dan kuikat jadi ekor kuda. Aku makin tomboi dan tomboi, hingga pada akhirnya, tibalah aku di puncak keedanan dalam hidupku: perkelahian pertama.

Ketika itu aku sedang datang bulan, jadi tak heran kalau agak sensi. Kejadiannya berlangsung saat istirahat. Seorang anak laki-laki—yang sepertinya naksir padaku—mencoba cari perhatian dengan mencuri penghapusku.

Diriku yang dulu mungkin cuma bisa merengek, memohon-mohon agar dia berhenti menjahatiku. Umpatan yang akan aku keluarkan: "Ich nackal!"

Diriku yang sekarang mungkin akan melemparinya dengan sejumlah perabot sekolah: ransel, sepatu, tong sampah, dst. Umpatan yang akan aku keluarkan: "Kontol sifilis."

Namun untuk diriku yang datang bulan, tak ada kata ampun. Umpatan yang akan aku keluarkan: "MODAR SIA!" Tiga puluh detik kemudian, dia dilarikan ke UKS dengan kepala benjol dan celana merosot.

Ayahku ngamuk. Aku dikurung di kamar mandi semalaman, menangis dan merenung atas perbuatanku—atau setidaknya, begitulah yang si pak tua harapkan. Sayang aku bukan perempuan cengeng. Semenit berlalu, dan aku merasa bosan. Aku kabur dengan menjebol langit-langit, lalu naik ke atap rumah. Aksiku dipergok tetangga, dan mereka kira aku maling. Seantero perumahan seketika ribut mengejarku hingga pagi. (Lumayan menegangkan, kalau dipikir-pikir.)

Bila diceritakan satu-satu, kisah perkelahianku tak akan ada habisnya. Mari persingkat waktu dan langsung menuju yang terbaru—satu yang membuatku ditendang dari sekolah.

Saat itu pertengahan semester dua, kelas satu SMA. Aku belum buat banyak ulah di sana, orang belum tahu siapa aku. Sejumlah senior coba memalakku. Aku menolak. Sepulang sekolah, mereka mengajakku main di gudang. Ya aku turuti. Ada dua pria dan tiga wanita—aku hanya seorang diri.

Sebenarnya, kasus itu tak mesti berujung bencana. Tapi seniorku mengunci pintu gudang, membuat mereka tak bisa kabur atau meminta pertolongan. Satu jam kami pesta di sana. Ketika guru datang, aku ditemukan sedang menduduki dada salah satu seniorku, tinju naik-turun menumbuk mulutnya.

Secara moral, aku tak salah. Mereka yang mulai, mereka yang menyekapku, mereka yang mengeroyokku. Tapi mesti diakui, aku agak kelewatan. Satu orang siswi kehilangan separuh giginya, dua lagi patah hidungnya, satu siswa kugigit putus telinganya, dan satu lagi (yang terparah) kehilangan satu biji pelirnya.

Haruskah aku lebih menahan diri? Gak. Lo pernah ribut? Kalo enggak, biar gue kasih tau: lo ragu, lo mampus. Ketika kau kalah jumlah, kalah kuat, dan kalah siap, maka satu-satunya caramu menandingi lawan adalah dengan menang tekad. Mereka cuma berpikir buat menyakitiku, aku berpikir buat menghabisi mereka. Mereka berhenti ketika satu-dua gigi patah, aku tak berhenti sampai hilang nyawa.

Aku tak merasa bersalah, dan sebab aku memang tak salah, polisi tak bisa menyentuhku (aku bahkan tak pakai senjata kecuali gigi dan tinjuku). Sekolah tetap menyalahkanku, tapinya. Mereka memberiku dua pilihan: drop out atau move out. Tadinya, sih, aku ingin drop out saja, tapi Ayah menjewerku. Aku pun pindah sekolah ke tempat yang amat jauuuuuuuuuuh.

Saking jauhnya, aku terpaksa mesti sewa kosan. Kuduga niat ayahku memang buat mengusirku. Sebagai bentuk protes, aku pun memilih rumah kos yang paling mewah dan mahal.

Oke. Ini kelewat mahal.

Maksudku ... di sini ada keran air panasnya. Klosetnya pun tipe duduk dan punya sistem cebok otomatis, yang malah bikin repot sebab aku berak jongkok dan cebok pakai gayung. Hotel bintang tujuh kalah dengan kosan ini.

Sayang kehilangan beberapa juta (atau belas juta? puluh?) rupanya tak kelewat terasa buat ayahku. Jika dianalogikan, maka mirip-mirip gigitan nyamuk ke tumit kaki. Dasar kapitalis!

Saat hari pertama masuk sekolah baru, aku merasa jadi orang teraneh di muka bumi. Namanya SMA Bina Taruna. Tidak. Aku tak salah tulis. Tak ada "N" di ujungnya. Ini sekolah swasta. Mungkin gara-gara itu seragamnya imut sekali. Ada rompinya, pendek rok bisa sesuai selera, dan siswi pakai pita alih-alih dasi.

Aku masih pakai seragam lamaku. Ditambah wajahku masih bonyok dan ditempeli perban. Ringkasnya, aku jadi tontonan orang di sana.

Tapi tentu saja masalahku tak sampai di situ. Maksudku, kita bahkan belum mulai sama sekali. Tunggu sampai aku tiba di kelas baruku, X IPA 3, yang mana menurut sebagian orang, merupakan kelas terkutuk. []

Mayat yang Berjalan (ed. revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang