Hari Kelima, Sabtu - 3

44 11 5
                                    

—Zaki

Gue pinter banget.

Gak. Bukan narsis. Ini fakta. Gue tau gue pinter banget dan gue bersyukur. Hubungannya sama ini cerita? Oke. Sebab gue pinter, gue jadi perwakilan murid cowok waktu ospek. Sekarang pertanyaannya: Siapa yang jadi perwakilan murid cewek? Iqla? Gak. Kenapa jadi ke dia? Iqla bodo. Raisa. Yang jadi perwakilan anak cewek itu Raisa.

Kita bedua terkenal, tapi dengan cara yang beda. Kalo dalam bahasa Inggris, Raisa itu famous—dia cantik, dia baik, dia supel. Semua orang suka Raisa, kecuali beberapa cewek yang iri dan beberapa cowok yang patah hati. Gue sendiri, gue infamous, sama terkenal tapi dalam konotasi negatif—kali sebab gue pendek, standar temen tinggi, plus gue cowok.

Gue kenal Raisa dari sana. Raisa mau sebangku sama gue gara-gara itu. Jadi, jangan salah paham. Gak ada apa-apa di antara kami.

Langsung ke inti: Raisa mati.

Waktu karya wisata, dia mati. Jatuh dari air terjun, terus ilang. Kecelakaan? Mungkin. Bunuh diri? Kenapa enggak? Yang jelas awalnya orang ngira antara dua itu.

Terus, dua minggu lewat. Hari pertama semester dua. Hari itu gue gak sekolah. Gue cuma denger dari Iqla. Ada bau bangke. Gak tau di mana asalnya. Lapor polisi? Gak. Awalnya orang pikir ini bau bangke kucing ato anjing doang.

Seminggu kemudian, ini bau gak ilang. Orang mulai panik, mulai tanya-tanya. Terus, waktu KBM jalan, ada ledakan. Ledakan apaan? Ya ... ledakan. Macem bom. Lokasinya di belakang kelas kita.

Apa yang meledak, gak ada siswa yang tau. Orang panik. Banyak murid yang coba tengok, tapi guru-guru udah datang duluan dan larang mereka liat. Sekolah dibubarin.

Besoknya, ada kabar. Yang meledak itu kuburan. Ada mayat yang ditemuin di belakang sekolah. Mayat Raisa. Iya. Mayat berjalan.

—Zaki

Si Buntut Kuda melongo. Mata melotot sementara mulut terjejal dua es krim. "Mayat?" katanya. "Yang di belakang kelas itu ... beneran KUBURAN?"

"Gak usah tereak. Ludah lo nyiprat." Aku mengelap kacamataku. "Iya. Kabarnya begitu. Banyak wartawan yang dateng minta kejelasan, tapi pihak sekolah ngotot diem. Jadi ... gitulah ... gak ada berita yang keluar."

"Tapi ... jalan? Mayat? Gimana ceritanya!"

"Dibilangin jangan tereak." Lagi, aku mengelap kacamataku. "Udah. Lo kalem dulu. Abisin es krim lo. Oke?"

Buntut Kuda membuka mulut lebar-lebar dan melahap ketiga es krimnya sekaligus, untuk kemudian dia telan. Macam orang minum air.

"Gimana?" tanyaku. "Agak kaleman?"

"Gak."

Aku mengusap wajahku. "Aslinya, gak ada yang paham. Gimana cara Raisa pindah sampe puluhan kilo seudah mati? Gue gak paham. Anak-anak gak paham. Guru sama polisi juga kayaknya gak paham."

Buntut Kuda celingukan, seolah baru sadar dia sedang ada di mana: kuburan. "Se-setan yang pindahin?"

"Anak kelas bilangnya kutukan."

"Kutukan?"

"Mereka bilang Raisa gentayangan. Kalau Raisa bukan mati kecelakaan, tapi dibunuh."

"Okeeee ...." Buntut Kuda diam sejenak. "Terus?"

"Mereka juga bilang kalau orang yang ngomongin Raisa, terutama yang sebut namanya, bakalan digentayangin."

"Digentayangin?" Dia mengerjap, lalu mencuri-curi pandang ke belakang. "Kayak ... dikintilin arwah, gituh?"

Mayat yang Berjalan (ed. revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang