Epilog

79 9 4
                                    

"Jadi, lo gak lupa kondom, kan?" tanyaku suatu hari di perjalanan pulang sekolah.

Zaki melirikku lambat-lambat. "Bilang sekali lagi?"

"Jadi, lo gak lupa kondom, kan?" tanyaku suatu hari di perja—

"Hah. Gimana? Gagal paham gue."

"Alah."

"Bukan alah, anjing. Jelasin."

"Itu, tuh. Pas kalian ngentot—"

"Siapa yang ngentot siapa!"

"Lo."

"Sama?"

"Hau-Hau."

Untuk sejenak, Zaki tak berkata apa-apa. Cuma buka-tutup mulut. "Lo keidean dari mana mikir gue sama Hau-Hau begituan?"

"Kalian ciuman, kan?"

"Ciuman doang!"

"Alah."

"Jangan alah, anjing! Jangan asal bacot! Gue sama Hau-Hau gak pernah kelewatan!"

"Terus?"

"Terus apaan?"

"Terus? Apa gerangan yang sebenarnya terjadi di balik pintu kalau bukan perzinahan?"

Zaki menyipit. "Resek macem biasa. Kenapa lo pake tanya segala? Gue tau lo ngintip."

"Waktu liat Hau-Hau cium lo, gue kena kejang-kejang, jatoh dari kursi, terus pingsan."

"Lebay."

"Oke. Gue akuin gue bukan cewek polos. Gue gak takut ngomong jorok. Gue paham sama mekanik proses reproduksi. Gue pernah nonton bokep—jangan pasang wajah kek gitu!" Kutendang Zaki di tulang kering, dan selepas itu, wajah jijiknya berubah jadi wajah yang lain. "Walopun begituh, gue gak pernah liat siaran live-nya."

"Lo gimana ceritanya kalo jadi yang main?"

"Enak, gak?"

Zaki diam sejenak, mata menatap curiga. "Enak."

"Ew. Cabul."

"Udah gue kira lo bakal ngomong begitu."

"Jadi ... lo orang balikan lagi?"

"Napa, sih, nanya gue mulu? Tanya aja Hau-Hau. Lo punya nomor dia, kan?"

"Gue takut abangnya denger. Bisa dikubur idup-idup gue gegara biarin adenya dinodai."

"Gak ada yang dinodain. Jangan bacot ngaco."

"Jadi ... kalian balikan?"

Hening sejenak. "Iya."

"Cieeeeeee! Prikitiw!"

"Kan?" Zaki geleng-geleng. "Anjing banget."

"Tapi syukur. Bu Ilma asli seneng waktu liat lo sekolah lagi—makin rajin pula. Jangan lupa bilang makasih sama pacar lo, ya!" Aku menepuk-nepuk punggung temanku. "Tau gue mau punya ade?"

"Tau. Hau-Hau bilang."

"Kira-kira cewek ato cowok?"

"Jangan bikin harapan. Kalo entar gak sesuai harapan, kasian sama bayinya. Gue tau banget gimana rasanya digituin. Kita berdoa aja, mau cewek ato cowok, semoga gak macem lo."

"Lo gak pengen ade gue punya wajah cakep?"

"Mulai ngaco." Zaki berhenti. Di depan, ada persimpangan. "Gue lewat sini."

"Ketemuan sama bebeb?"

"Haha." Tawanya dingin.

"Dadah kalo gitu. Gue lewat sana."

"Mau bikin onar?"

"Haha. Anjing. Ketemuan sama nyokap."

"Yang mana?"

"Yang pertama. Yang kedua baru kemaren-kemaren tengoknya. Minggu depan giliran gue yang tengok dia." Aku mengusap daguku. "Hmm. Gue harap yang satu ini bunting juga."

"Lo pikir mereka buatnya barengan, apa?"

"Siapa tau? Nyokap gue itu kompetitif banget. Kalo dia denger mantan suaminya mau punya anak lagi, gak heran kalo malemnya dia tempur abis-abisan sama suami barunya. Kan dua ade baru, tuh. Cuco."

"Kasih tau kalo ade lo udah lahir. Mesti ada yang mastiin dia gak jadi Buntut Kuda Jilid Dua." Zaki menjulurkan tangannya, yang aku balas dengan tepukan akrab. "Ketemu lagi besok, Sobat."

"Sip, Sobat." []

—Tamat—

Mayat yang Berjalan (ed. revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang