Hari Ketujuh, Senin - 5

36 11 1
                                    

—Zaki

Aku dan Buntut Kuda menyingkir dari jalan, masuk ke warung gorengan, memesan sebungkus bakwan dan kroket. Sealami mungkin, aku mendekat pada gadis itu dan saling bisik. Ada yang membuntuti, dia bilang. Dia tak lihat, tapi dia merasakannya. Aku tak ragu. Binatang liar memang biasa punya insting tajam.

"Mamam gorengan lo—sekalian gue minta—terus ikutin sini."

Kami pun melanjutkan perjalanan. Sengaja aku mengambil rute terpencil dan sepi. Kami menyelinap masuk ke sebuah gang, layaknya pasangan pemuda-pemudi yang hendak mesum, lalu mempercepat langkah. Sambil mengingat-ingat peta daerah ini di dalam kepala, aku berbelok selusin kali, untuk kemudian mendorong Buntut Kuda ke balik bak sampah tua.

Aku diam sejenak, membiarkan si penguntit melihat punggungku, lalu lanjut berjalan dan berbelok di ujung gang. Aku tak berhenti, membuat langkah seberisik mungkin. Hampir aku sampai di belokan selanjutnya ketika suara keributan terdengar. Aku buru-buru kembali dan mendapati Buntut Kuda yang tengah menganiaya si penguntit.

"Setan! Bangsat!" umpat gadis itu, masih berusaha mengunci tubuh musuh. "Anjing! Kontol! Tai, lo!" Tinju dan tendangan silih berganti, menyerang bak badai.

Aku cuma bisa melongo. Rupa si penguntit sedikit di luar dugaan. Dari jeritannya, aku tahu dia laki-laki; memakai kedok bangsat—kain hitam yang menyelubungi kepala, berlubang tiga untuk mata dan mulut; tubuh diselimuti jubah hitam ala penyihir Hogwarts; sarung tangan pengendara motor bentrok dengan sendal jepit di kakinya. Aku mengendus. Samar-samar, bau menyan tercium semilir.

Buntut Kuda mendompak, membalikan tubuhnya, mengunci tangannya, lalu memaksanya membungkuk. "Buruan! Eksekusi!"

Aku gelagapan, agak panik ketika dihadapkan dengan adegan kekerasan. Aku tak bisa berpikir jernih. Kupungut begitu saja kayu lapuk yang terletak di tanah. Tahu aku hendak "memenggal" lehernya, si penguntit menjerit histeris, mirip orang kesurupan.

"Buruan, anjing!"

Aku mengayunkan tanganku, menghantam tengkuk musuh. Terdengar bunyi kayu retak, tapi si penguntit masih sadar—makin liar dalam usahanya melepaskan diri.

"Lagi lagi lagi!"

Sekali lagi, aku menyerang, kali ini hingga balok kayunya patah. Tapi tak ada perubahan. Adegan film di mana orang langsung pingsan ketika tengkuknya dipukul tak dapat dipercaya. "Gak abis pikir. Kok bisa dia terang-terangan pake kedok bangsat di siang bolong begini?"

"Ini gue! Ini gue!" ujar si penguntit, kedengaran macam modus penipuan yang sedang populer waktu itu.

"Diem, babi!" Buntut Kuda mengayunkan lututnya, menghantam ulu hati si penguntit. Dia menjerit kesakitan, ingus dan liur berjatuhan, tapi itu saja. Setelahnya, dia masih mampu bicara.

"Gue! Gue! Si dukun pelajar!"

"Baru kali ini gue denger profesi goblok 'cem 'ntu," komentarku, lalu ikut-ikutan menendang perutnya. Kali ini dia berhasil dilumpuhkan dan jatuh ke tanah, muntah-muntah. "Gue benci dukun palsu."

"Gue ... dukun ... asli ...."

"Mana ada di dunia ini yang namanya dukun asli." Kujambret kedok si penguntit. Tampak wajah seorang laki-laki dengan poni super pendek, dipotong seserampangan mungkin. Jelas bekas raziaan. "Lo siapa?"

"Gueeee ...." Si penguntit ngos-ngosan, muntahan masih tersisa di bibir. "Ini gueeee ...."

"Ini gue, ini gue. Jawab nama aja apa susahnya. Pengen nipu lo, ya?" Aku mengedik. "Cok, lo kenal 'ni bansat?"

Buntut Kuda berjongkok dan jambak rambut si penguntit. "Eng ...." Kerut muncul di keningnya. "Huh? Gue rasa ... gue emang kenal .... Wajahnya agak-agak lebih montok dari yang gue inget, tapi ... dari bau menyannya ... lo ini Ketua, kan?"

Mayat yang Berjalan (ed. revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang