Hari Ketujuh, Senin - 6

37 11 0
                                    

—Zaki

Agak lama kemudian, kening Buntut Kuda muncul di belokan jalan. Buru-buru aku mengejarnya, menangkap ekornya, menyeret paksanya supaya tak kabur lagi.

"Ampas! Sakit, anjir!"

"Lo yang ampas! Guoblok! Temen sendiri ditinggalin! Mana ada ceritanya Watson ngibrit tinggalin Holmes!"

"Ki-kita bakal dipenjara?"

"Kagak, anjing."

"Tapi kita sudah membunuh Ketua!"

"Kagak, goblok!" Aku mengusap wajahku. "Gue udah ngomong ke Zulfa. Kita bawa itu dukun pelajar ke kosan dia."

Buntut Kuda mengernyit, menengok pada Zulfa. Si gadis masih bengong, pucat dan teror belum meninggalkan wajahnya. Meski begitu, sorot matanya tampak sadar. "Kok bisa?" tanya Buntut Kuda. "Lo apain dia?"

"Apain apa gimana? Cuma ngemeng dikit."

"Mustahil! Jelas-jelas kita udah membunuh Ketua! Kenapa mau-maunya dia bantuin kriminal 'cem kita?" Buntut Kuda melotot, celingukan tak tenang. Sesaat kemudian, dia menggulirkan bola matanya padaku, kaget. "Udah gue duga!"

"Yakin lo ngawur, tapi coba apa?"

"Dia naksir lo!"

"Kan. Gue bilang juga apa."

"Gak ada penjelasan lain! Dia kesengsem sama lo!"

"Berisik, setan." Aku menepuk pelan bahu Buntut Kuda, sedikit merasa berdosa menjambaknya tadi. Dia masih perempuan, walau bagaimanapun. "Pokoknya lo kalemin dulu diri lo. Seudah sampe di kosan Zulfa, kita lanjut interogasi itu dukun pelajar."

—Zaki

Zulfa tinggal di sebuah kosan bobrok yang terletak di belakang puskesmas. Sebentuk bangunan leter L dengan atap melendut, genting berlumut, dinding retak, jendela pecah, serta lantai rengat. Kebanyakan kamarnya tak diisi, dan memang tak layak huni. Tumpukan sampah medis menggunung di belakang, menyengat oleh bau obat dan penyakit.

Aku dan Buntut Kuda mengendap-endap lewat jalur belakang, menggelindingkan tong berisi Ketua. Sementara itu, Zulfa masuk duluan, untuk kemudian membukakan jendela kamarnya. Terdengar suara cabul yang berkumandang dari ruang sebelah, tapi selain itu, situasi sepi. Bangunan yang teramat cocok dijadikan markas kriminal atau sarang prostitusi.

Ketika tong dibuka, Ketua sudah tak sadarkan diri. Kepalanya terkulai lemas, lidah menjulur, ingus menggantung. Butuh waktu seperempat jam buat mengeluarkan organisme itu dari sana. Tubuhnya menjejal ke dinding tong, tersangkut (salahkan Buntut Kuda). Usai meloloskan Ketua lewat jendela, Buntut Kuda menyusul. Aku masuk terakhir setelah memastikan tak ada orang yang melihat.

"Lo bedua ..." Zulfa menatap Buntut Kuda dan aku yang mengap-mengap, lalu memasang wajah muak, "... sinting."

Aku buka mulut, hendak membalas, tapi urung. Setelah dipikir-pikir, tampaknya kami memang agak sinting. "Gak mau ditawarin minum dulu, apa?" Aku melirik ke sekeliling. Terlepas dari langit-langit penuh lumut bekas kebocoran dan lantai yang retak, kamar ini lebih rapi dari kamarku.

Zulfa memicing. "Buruan beresin urusan lo terus minggat."

"Oke, oke." Aku menarik napas beberapa kali. "Rumah lo jauh, gak?"

"Apa tanya-tanya?"

"Luar kota?"

Zulfa terdiam.

"Lo sama Raisa satu SMP, kan? Kalo Raisa datang dari luar kota, berarti lo juga," jelasku. "Raisa tinggal di sini sama lo?"

Mayat yang Berjalan (ed. revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang