—Fadila
Aku bangun dan melihat langit-langit yang tak aku kenal. Itu bukan langit-langit rumahku, bukan langit-langit kosanku, apalagi langit-langit toiletku. Setelah bengong sejenak dan menyingkirkan ide gila kalau aku telah diculik, aku pun mendapatkan kembali ingatanku. Itu langit-langit kamar hotel.
Pengalaman menyadarkanku kalau tetap tinggal di kosan itu berbahaya. Si bangsat ... monyet sifilis yang kemarin membobol kamarku, dia bisa kembali kapan saja. Jadi, kuputuskan untuk menginap di hotel buat sementara. Bukan berarti di sini lebih aman, tapi orang tak bisa menyerang target yang lokasinya tak dia ketahui. Kerahasiaan adalah bentuk keamanan terketat di muka bumi (dikutip dari Seribu Satu Kata-Kata Bijak Fadila Rahmah Abad Ini).
Usai mandi dan memakai seragam, pintu kamarku diketuk. Aku mengintipnya, kalau-kalau dia mata-mata musuh. Tapi apa yang aku temukan hanyalah seorang emang-emang yang membawa kereta saji. Pelayanan kamar.
Ketika aku mengingat ke belakang, aku sadar kalau semenjak pindah, aku jarang makan makanan orang tajir. Merepotkan soalnya. Banyakan aku makan mi instan saja, atau keripik, atau gorengan, atau segala jajanan di pinggir jalan. Aku pikir semua makanan itu enak-enak saja, tapi ketika sepotong bistik masuk ke mulutku, aku segera menitikan air mata.
Bistik? Siapa orang gila yang makan bistik buat sarapan? Gue. Aku butuh protein buat pertumbuhan dan lemak buat energi tambahan. Aku tak butuh vitamin dan serat yang tak berguna.
Umurku tinggal tiga hari lagi.
Sambil makan, aku teringat kejadian kemarin. Angka yang biasa kutemui adalah sisa umurku. Aku menemukan angka tujuh di hari pertama sekolah—yang berarti sekarang waktunya angka tiga. Aku belum menemukannya di mana pun, untungnya. Apa yang akan terjadi padaku begitu menemukan angka satu? Tak tahu. Tak paham. Pusing pala berbie.
Seperti yang kuduga, harapanku satu-satunya adalah Ahmad Zaki. Aku melewatkan kesempatanku kemarin, tapi aku masih bisa memperbaikinya. Aku punya sandera. Jeng jeng! Seragam pramuka Zaki yang kemarin aku rampo—maksudku—pinjam! Itu orang mau tak mau mesti ke sekolah buat ambil lagi ini celana, baju, sama topi. Dia bukan kapitalis. Dia tak bakal mampu beli yang baru.
Aku keluar dari hotel, jaket menyembunyikan seragam. Ada dua alasan. Pertama, karena aku ogah dikira babysugar om-om. Kedua, untuk tindak pencegahan kalau ada mata-mata musuh yang lihat.
Awalnya aku jalan sembunyi-sembunyi. Aku menghindari keramaian, masuk ke sela gang dan berputar-putar. Usai yakin tak ada yang membuntuti, aku pun keluar dan pergi ke sekolah macam biasa.
Separuh jalan, aku tiba di sebuah TK. Sudah ada anak-anak yang main di halamannya. Mau tak mau aku kagum. Seingatku, TK mulai pukul delapanan—paling banter, setengah delapan. Sengebet apa pula anak-anak ini buat bertemu dan main dengan teman mereka? Hmm. Tapi tak heran. Masa kecil adalah yang paling indah.
Beberapa pedagang berjejer di pinggir jalan: tukang gulali, tukang bubur, tukang gorengan, tukang mainan. Perutku bergemuruh. Mendadak aku lapar lagi. Dasar memang remaja dalam masa pertumbuhan. Aku baru merogoh sakuku buat mencari receh ketika seseorang memanggilku.
"Bang!"
Aku perempuan. Kali bukan tipe lemah sakit-sakitan yang mesti selalu dilindungi, atau jenis people pleaser yang senantiasa penurut dan ingin melayani, tapi aku masih perempuan. Aku tak punya penis dan aku suka cowok ganteng. Oleh sebab itu, aku tak merasa dipanggil ketika ada orang yang berteriak Bang, Bang, begitu.
"Bang! Cie pake rok, nii, ye! Celana lo ke mana?"
Sebuah kerikil melayang dan menghantam bahuku. Lewat ekor mata, aku bisa lihat seorang pemuda ceking duduk di pagar TK. Dia mengenakan seragam SMA Bina Taruna dan menenteng mangkuk bubur ayam di satu tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mayat yang Berjalan (ed. revisi)
Mistério / SuspenseRaisa Uktala mati, jatuh dari air terjun saat karya wisata sekolah. Bunuh diri? Dibunuh? Atau kecelakaan? Tak ada yang tahu. Mayat Raisa hilang ditelan arus sungai, menjadi misteri serupa kasusnya .... .... Sampai akhirnya, mayatnya berjalan. ***