Hari Kedua, Rabu - 3

52 10 5
                                    

—Fadila

Aku keluar dari ruang guru dalam kondisi bingung. Saking bingungnya, aku lupa buat melepaskan sepatu yang menggantung di leherku. Aku jadi tontonan masyarakat sebelum akhirnya seorang gila di pinggir jalan menyorakiku gila. (Heran memang. Orang gila lebih guna ketimbang orang waras.)

Aku duduk selonjoran di trotoar. Sembari berusaha melepaskan ikatan sepatu, aku coba menelaah fakta yang kudapat. Raisa Uktala meninggal. Itu menjelaskan beberapa hal, tapi tidak semua, seperti kenapa tak ada orang yang ngomong langsung ke aku gituh? Babi. Kenapa kemarin si Mata Empat gak bilang langsung kalo si Raisa mati! Hamster juga! Kenapa mesti pake cara muter-muter? Pakai suruh aku cari tahu sendiri ke ruang guru?

Aku garuk kepala. Ikat rambutku lepas dan rambutku tergerai berantakan. Ah. Pusing. Aku mungkin baik dan cantik dan seksi, tapi aku tidak pintar. Aku kurang pandai berpikir.

Selesai pakai sepatu, aku bangkit. Ada gadis di seberang jalan—mungil, berseragam, ransel pink besar di punggung. Untuk sesaat aku mengira Marvel telah mengeluarkan superhero baru apalah-man-nya. Mungkin Snailman. Tapi bukan saudara-saudara! Itu Hamster!

Buru-buru aku lari menyeberang jalan dan nyaris tertabrak. Si pengemudi menjulurkan kepala dari jendela. "Bangs—lah anjing lo lagi lo lagi!"

Aku mengabaikannya dan melompat untuk menerkam—uh, emm, maksudku—memeluk Hamster. Si gadis kecil memekik histeris. Makin nyaring ketika tanganku menggerepe teteknya (yang mana lebih berisi dari yang terlihat).

"Eh? Eh! HEEEEEEEEEEEEEEH!" jeritnya.

"Hmm. Sekal dan kencang sekali. Pasti masih perawan," kataku. Hamster berbalik buat menamparku; aku menunduk buat mengelak. "Wowowowo! Kalem, Beb! Aku, nih!"

"Fadila!" Hamster melotot, kedua tangan tersilang di dada. Anehnya, dia tak nampak lega. "Ngapain kamu sii!"

"Nyapa doang."

"Gak gitu juga caranya!"

"Aku gak lesbi, jadi gak masuk pelecehan seks."

"Gak gitu juga caranya!"

"Oh. Sori. Kamu yang lesbi?"

"GAK GITU JUGA CARANYA!"

"Makasih buat yang tadi pagi betewe."

Hamster mendadak diam. "Kamu ... kamu udah tau?"

Aku mengangguk. Rambutku jatuh ke depan, jadi kusisir balik dan kuikat lagi. "Kenapa kamu gak ngomong langsung gitu? Kenapa semua orang gak ngomong langsung? Kalian kenapa, sih?"

Kembali, Hamster diam. Bibirnya mengatup rapat dan keningnya mengernyit. "Aku ... aku udah janji ... buat jauhin kamu—"

"Janji? Sama siapa? Si Lacur?" Aku berpikir sejenak, coba mengingat nama si Lacur ini. Aku susah mengingat nama. (Aku susah mengingat apapun.) "Si Yulsa?"

Hamster mengangguk.

"Mau aku bikin dia ompong?" Aku acungkan tinjuku yang masih lecet dari pertempuran terakhirku.

"Jangan!" Hamster menghela napas. "Ini ... uh. Ini gara-gara Zaki. Kalo aja dia ada ...." Gelengan. "Aku gak bisa bilang apa-apa lagi, Fad. Maaf." Dan dia pun pergi.

—Fadila

Malam hari, di kosan tercintaku. Aku berdiri di depan air mendidih sambil berpikir. Aku berpikir soal Raisa Uktala. Aku berpikir memang orang macam apa ini cewek sampai matinya buat anak kelas jadi begini? Atau mungkin bukan itu. Mungkin caranya meninggallah yang jadi sumber masalahnya. Aku menyentuh daguku, berpose macam detektif. Mungkin aku bakal terlihat keren andai tidak sedang telanjang—aku hanya pakai beha.

"Uwoh mendidih, mendidih."

Kumasukan tiga keping mi instan ke panci. Aku menengok kakiku, lalu ketiakku, lalu tanganku, lalu bibirku. Berbulu. Aku baik dan cantik dan seksi, tapi tubuhku berbulu macam laki-laki. Ibuku bilang aku kelebihan hormon testosteron. Dia bilang kalau itu yang buat aku berbulu dan juga buat aku tetap kurus walau makan sebanyak apapun. Aku ingin mengeluh, tapi Ibu bilang aku tak tahu diuntung—cukur bulu lebih gampang ketimbang cukur lemak.

Kumasukan tiga butir telur, empat buah tomat, dan lima helai sawi ke panci—tak dipotong, sebab rasanya percuma juga; sampai di perut, semuanya sama-sama jadi tahi. Kutuang bumbu mi (iya, langsung ke panci juga) lalu mengaduknya dengan centong (sendok sayur belum dicuci). Aku ambil mangkuk, mengernyit, lalu membantingnya. Gak bakal muat.

Kuangkut makan malamku beserta pancinya ke depan televisi, duduk sila, lalu mulai bersantap. Nyam nyam! Kuseruput miku. Kuah menciprat ke selangkangan. Aku terperanjat. Mi tumpah. "...." Anjing memang. Ngapain, sih, aku pakai telanjang segala? Kayak orang susah saja. Kalau gerah, ada AC!

Aku menghela napas, lalu menutupi "kesalahanku" dengan menimbunnya di bawah karpet (gue ngisi perut dulu babi). Sebab ogah repot lagi, aku cuma mengenakan jaketku, mengangkat tudungnya, lalu keluar. Oh, kalem. Jaketku besar—ini jaket laki-laki, aslinya; ujung bawahnya jatuh sepuluh senti di atas lututku. Anggap rok mini.

"... Ini aja Mbak? Mau isi pulsa sekalian? Mau tarik tunai? Total harga jadi Rp. 95.000. Uang Rp. 100.000, kembalian Rp. 5.000. Terima kasih, silakan kembali lagi."

Dan sejoli Proklamator Kemerdekaan pun keluar lagi dari dompetku. Huh. Macamnya aku sudah terjerumus ke dalam gaya hidup hedonis. Jika sudah begini, siapa yang mesti disalahkan? Ayahku yang sudah usir aku dari rumah? Ibuku yang sudah meninggalkanku? Atau negara yang sudah menciptakan sistem mata uang? Siapapun itu, yang jelas bukan aku. Aku tak pernah salah. Mereka yang salah.

Dengan mulut penuh keripik kentang balado, aku berjalan di kegelapan malam yang sepi. Sudah pukul sebelas. Wajar kalau tak ada orang. Angin dingin bertiup, masuk ke bawah jaketku, menggigit langsung ke kulit. Jangkrik berderik, kucing mangaok, burung hantu menderu. Beberapa belas meter dari kosan, aku melihat sesuatu di kegelapan.

Ah.

APAAN TUH!

Tak tahu. Terlalu gelap. Orang? Tak jelas. Yang pasti dia gerak. Di sana. Di seberang jalan. Di bawah pohon pisang. Bulu badanku yang lebih lebat dari perempuan normal berdiri semua.

Setan?

Aku mangap-mangap. Ingin menjerit, tapi takut si setan memergok ke hadiranku. Jadi, sebelum dia menoleh, aku memungut batu di pinggir jalan dan melemparnya. Kena. Atau tembus? Aku mendengar bunyi duk yang lunak, tapi tidak dengan suara aduh. Asli setan?

Aku memungut batu lagi. Tapi begitu aku berbalik, sosok itu sudah hilang. Aku tetap melemparinya, kalau-kalau dia menyatu dengan kegelapan. Uh. Anjing. Horor. Kutahan ujung jaketku supaya tidak tersingkap, lalu buru-buru lari ke kosan. Begitu sampai, kejutan baru muncul. Pintu kamarku. Ada tulisan di sana. PERGI. Ditoreh serupa cakaran, bercak merah di sekelilingnya. Di bawahnya, ada sebuah angka: 6 .

Malam itu, aku tidak tidur. Awalnya aku takut. Seseorang—atau sesuatu?—tidak menyukai rasa penasaranku, dan dia menyuruhku untuk pergi. Tapi setelah dipikir-pikir, sejak kapan Fadila Rahmah menurut kalau disuruh? Lalu rasa takutku berubah jadi marah. Keluargaku hancur dan musuhku sejibun, wajahku bonyok dan buku jariku lecet. Aku tak sudi dipecundangi setan.

Kuanggap ancaman ini sebagai tantangan. Fadila Rahmah adalah perempuan yang cinta barbarisme. Dia percaya bahwa tinju adalah solusi untuk semua masalah. Maka tinju yang akan aku berikan. []

Mayat yang Berjalan (ed. revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang