—Zaki
Tak ingin Iqla terbawa masalah, aku menyuruh dia buat berangkat sekolah duluan. Aku dan Buntut Kuda sendiri menyusul agak siangan. Rencananya kami ingin masuk di sela waktu antara bubar upacara dan awal jam pelajaran pertama. (Buntut Kuda mentereng bukan main dengan seragam pramukanya.)
"Cok, liat." Buntut Kuda memperlihatkan layar ponselnya. Ada pesan. Dari Raisa.
Aku mengernyit. "Ini bukan setan—"
"Iya, gue paham. Ini si pelaku."
"Siapa aja yang tau nomor lo?"
"Hau-Hau?"
Aku menyipit. "Lo seriusan nuduh mantan pacar gue pelakunya?"
"Eh! Siapa tau, kan? Kali dia cemburu lo punya TTM?"
"Ngaco. Siapa lagi?"
"KM."
"Elli?" Aku usap kepalaku. "Sebut semuanya."
"Eeh ... babeh gue. Terus lo. Udah, sih. Hmm? Bentar." Buntut Kuda usap dagunya yang punya janggut halus. Andai aku punya kerokan, sudah kupinjamkan pula (sayang aku tak punya, tak butuh). "Mungkin gak pelakunya Babeh gue? Dia orang jahat, soalnya."
Mengabaikan omongan konyol Buntut Kuda, aku merenung. Di antara orang-orang itu, yang paling mencurigakan adalah Elli. Tapi ... serius? Elli bukan orang tolol. Kalaupun dia pelakunya, dia tak bakal melakukan hal yang membuatnya ketahuan begini.
Mengesampingkan hal itu dulu, kami berangkat ke sekolah. Buntut Kuda menyetir Phoenix; aku duduk menyamping di boncengan, otot paha masih kaku untuk mengangkang. Terdengar jerit pekik ketika si gadis alien melaju ngebut, menyalip semua motor dan mobil sambil tiada henti membunyikan klenengan.
"Zaki," panggilnya, "aku takut."
"Sok imut, cuih! Mana ada ceritanya cucu Herkules takut!"
Meski begitu, perkataan dia bukan tanpa dasar. Dia masih diburon. Kami tak bisa melenggang masuk begitu saja seolah tak terjadi apa-apa. Selain itu, ini adalah hari ketujuhnya. Entah apa yang akan terjadi. Tak ada orang yang pernah mengalaminya. Yang jelas, kami mesti waspada.
"Kalo soal anak kelas, kalem. Gue ada rencana."
"Kekerasan?"
"Gak. Apaansi? Gak semua hal bisa diselesein pake kekerasan."
"Yakin?"
Aku merenung. "Oke. Kekerasan tanpa batas kali bisa, tapi mustahil kalo pake tangan lo doang. Manusia gak berevolusi buat kekerasan."
"Jadi gimana? Pake jurus omong-omong sakti?"
"Jangan remehin kekuatan omongan. Manusia berbuat sesuai pikiran, dan pikiran bisa dipengaruhi omongan. Lagian gue lumayan dihormatin di kelas. Seenggaknya lebih dari Yulsa."
"Si Lacur?"
"Lo ... lo punya hobi bikin julukan buat semua orang apa gimana, sih?"
"Gak semua juga. Hau-Hau tetep Hau-Hau."
"Hau-Hau itu julukan."
"Eh? Serius?" Buntut Kuda tergelak kasar. Tawanya macam preman. "Ngemeng-ngemeng, si Lacur ngebos banget di kelas kita. Dia punya beking apa gimana?"
"Lo tau anak cowok yang badannya paling besar? Mirip-mirip preman?"
Buntut Kuda mengangguk.
"Namanya Robi. Yulsa sama dia pacaran."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mayat yang Berjalan (ed. revisi)
Mistério / SuspenseRaisa Uktala mati, jatuh dari air terjun saat karya wisata sekolah. Bunuh diri? Dibunuh? Atau kecelakaan? Tak ada yang tahu. Mayat Raisa hilang ditelan arus sungai, menjadi misteri serupa kasusnya .... .... Sampai akhirnya, mayatnya berjalan. ***