Hari Keempat, Jumat - 1

57 12 3
                                    

—Fadila

Semburat cahaya muncul di ufuk timur, menyebar di langit, menandai fajar yang menjelang. Fadila Rahmah, gadis belia yang terkenal baik, cantik, dan seksi, ditemukan tergeletak tak bernyawa dalam kondisi telanjang bulat di kosannya.

Amit-amit.

Aku selamat. Tentu saja aku selamat! Tubuhku tak tergores, darahku belum menetes, keperawananku juga .... Ya Tuhan. Jorok betul bacotku ini. Aku bukan Alma Livia dalam cerita parodi tujuh iblis dosa besar!

Semalaman suntuk, benar-benar semalaman suntuk yang dalam kata lain sepanjang malam, aku meringkuk di atas lemari tanpa bergerak sedikit pun. Tentu saja aku juga tidak molor. Iya kali gue molor. Siapa juga orang yang bisa molor di situasi macam begitu?

Aku tak tahu kapan dia—orang kurang kerjaan yang membobol kosanku—pergi. Ketika sinar mentari masuk dan menyinari tiap sudut ruangan, kamar sudah kosong. Bahkan sekadar jejak pun tak ada. Seolah apa yang aku alami semalam cuma mimpi. Atau kali memang mimpi? Tak tahu .... Seingatku, aku tak pernah mengkonsumsi obat terlarang kecuali Paramex kedaluwarsa.

Adu-du-du-duh.

Kesemutan. Duh Gusti. Kesemutan!

Aku turun dari lemari, tergeletak di lantai, lalu bergulingan sebab tak mampu berdiri. Aku bergegas memungut ponselku di kolong lemari dan menghubungi ayahku.

Aku: "Pi! Aku diserang!"

Sugardady: "Asem, Fad. Masih pagi. Jangan iseng."

Dan telepon pun ditutup.

Tak bisa menerima kenyataan pahit ini, aku membeku dalam posisi terakhirku untuk beberapa puluh detik. Ah. Bokap sialan. Pria biadab! Kakek-kakek impoten! Penjahat kelamin! Kapitalis! Mampus aja lo, berengsek!

—Fadila

Di kamar mandi, ketika aku mengguyur badan dengan air dingin, perutku mendadak sakit. Ada darah di pahaku. Sempat aku pikir itu darah keperawanan, tapi jelas argumen tersebut konyol dan ngawur. Lalu aku ingat tanggal berapa ini, dan langsung saja mood-ku jatuh kandas. Aku benci tamu bulananku.

Sebenarnya, setelah apa yang aku alami semalam, aku merasa berhak bolos. Aku bahkan berpikir untuk lapor polisi. Tapi kemudian aku menstruasi. Aku jadi marah. Lebih dari itu, aku murka. Aku baru saja ditakut-takuti di rumahku sendiri—tak ada penghinaan yang lebih berat dari itu.

Lagi pula jika aku lapor polisi, si pelaku tetap tak bakal ditemukan. Tak ada barang hilang, tak ada jejak, tak ada bukti. Jika aku buat kegaduhan, yang ada dia malah akan makin waspada. Kupikir aku mesti melepaskannya, membiarkannya lengah dan meremehkanku. Dia bakal datang lagi. Aku yakin itu. Ketika itu terjadi, maka aku sudah siap.

Aku mengemas banyak senjata ke dalam tasku. Pisau dan gunting sudah pasti, juga obeng, selotip, tali jemuran, korek api, pembalut ... tidak. Yang terakhir itu lupakan. Asli lupakan.

Aku berangkat agak siangan. Sengaja. Mengingat kemungkinan besar aku adalah buronan kelas sekarang. Aku bakal jadi bulan-bulanan warga bahkan sebelum bisa bertemu dengan si Ahmad Zaki ini.

Sambil menunggu, aku berkeliling kamar dulu, mencari angka empat yang kuyakin bakal kutemukan. Dan benar saja. Di dinding, sebelah jendela, ditoreh pada lapisan cat. Ukurannya begitu kecil hingga tak bakal disadari kecuali memang dicari.

Kuludahi angka itu, lalu pergi.

Tiba di gerbang, aku menunggu sampai bel berbunyi. Tiba di depan kelas, aku menunggu sampai guru masuk. Aku berdiri di depan pintu, menarik napas dalam-dalam selama beberapa menit lamanya. Oke, Fadila. Lo bisa, lo bisa, lo bisa. Dan aku pun masuk.

Mayat yang Berjalan (ed. revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang