Hari Keempat, Jumat - 3

49 12 6
                                    

—Zaki

Aku dibegal. Di sini. Di tengah-tengah institusi pendidikan yang berisi manusia-manusia intelek. Di siang bolong dengan sengatan mentari menyala di langit tak berawan. Sampai sekarang pun aku masih kesulitan mempercayainya.

"Psst!"

Aku berhenti. Aku sedang berjalan di lorong, toilet laki-laki tepat di depan. Njing? Aku celingukan, mencari sumber suara.

"Pst!"

Aku melirik cepat. Asalnya dari dalam toilet. Aku mengernyit, melangkah perlahan, lalu melongok. Tak ada siapa pun.

"Sinih." Lagi, bisikan itu terdengar, pelan bagai semilir angin. Bulu kudukku merinding. Refleks. Aku tak percaya setan, tapi aku merasakan adanya bahaya.

"Di siniiih."

Kuputuskan untuk balik. Terlambat. Seseorang melompat dari dalam tong air. Dia menerkamku. Aku menjerit. Dia menyumpalku. Aku meronta.

Tubuhku lebih kecil darinya. Dengan mudah dia menyeretku ke bilik toilet, lalu menguncinya. Aku dibanting ke lantai, dan saat itulah aku bisa melihat penyerangku dengan jelas. Wanita, buntut kuda, wajah gila—Fadila. Bangsat. Dia sembunyi di toilet laki-laki. Siapa yang sangka?

"Diem," katanya, melotot. Dia punya sorot mata yang hanya dimiliki psikopat buron. "Lo ngelawan, telor lo pecah." Dia menghela napas. "Oke. Sekarang, biarin gue buka baju lo ...."

Dihadapkan dengan usaha pemerkosaan macam itu, terang saja aku melawan. Sayang si gadis edan tak kenal gertak sambal. Dia betulan menendang biji pelirku. Langsung aku kena kejang.

"Lo yang minta," dia berujar kejam, lalu melucuti seluruh pakaianku ... kecuali dalaman, mungkin ... dan kacamata. Tak jadi penghibur duka. Di seumur hidupku yang dipenuhi aib, aku tak pernah dipermalukan separah ini. "Merem. Gue mau ganti baju."

Terang saja aku malah melotot.

"Merem goblok!" Dan dia mencolok mataku.

Beberapa menit kemudian, Buntut Kuda merapikan seragam pramuka barunya, menyelipkan rambut ke topi, lalu menarik retsleting celana. Dia coba berkaca pada cermin di dinding. "Uh. Masih cantik. Gimana dong?" Untuk beberapa saat, dia petakilan dengan centilnya.

Dalam derita, aku bertanya-tanya sedelusif apa makhluk di depanku. Dia tak cantik—dia tampan. Tak bakal ada orang yang menyangkanya sebagai perempuan kecuali diperhatikan baik-baik. Buntut Kuda punya gen maskulin yang dominan. Lihat saja dari dada dan bokongnya yang nyaris rata, juga dari lengannya yang berbulu.

"Derita cewek hot ya gini." Buntut Kuda menghela napas, lalu menginjak kepalaku dan memanjat bilik WC. Setelah dirasa situasi aman, dia pun melompat dan pergi. Sampai sekarang aku masih tak paham kenapa dia tak keluar lewat pintu macam manusia modern pada umumnya.

—Zaki

Ibuku tak pernah cape bilang kalau dia dan ayah ingin anak perempuan. Kenapa mereka ingin anak perempuan sementara banyak orang yang berharap punya anak laki-laki? "Cewek lebih imut," beliau-beliau menjawab. "Lebih awet buat disayang-sayang." Anjing banget, kan?

Alhasil, aku pun dirawat macam anak perempuan ketika bayi. Lihat album foto keluargaku. Kau akan dapati banyak penampakan balita imut berbaju pink, berok, dan berambut panjang. Kerap orang pikir itu Iqla, tapi bukan—itu aku.

Entah cuma kebetulan atau memang gara-gara sugesti yang kelewatan, aku tumbuh miskin testosteron. Wajahku tetap feminin macam anak-anak, dadaku tak jadi bidang, bahuku tak jadi lebar, dan tumbuh tinggiku terhenti di kelas enam SD. Aku tak berkumis dan berjanggut. Kulitku mulus dan poriku kecil. Untung saja otak dan penisku masih bisa berkembang dengan normal. Kalau tidak, manalah aku bisa menikah nanti dewasa.

Mayat yang Berjalan (ed. revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang