Hari Keenam, Minggu - 3

35 10 6
                                    

—Zaki

Ketika kami sampai di mal tempat aku memarkir Phoenix, malam sudah menjelang. Kenapa bisa telat begitu? Beberapa orang mungkin akan bertanya demikian. Untuk keterangan lebih lanjut, silakan berkonsultasi pada gadis edan di belakangku.

"Hujan."

"Tahan."

"Jaja ... dingin."

"Tahan."

"Laper."

"Tahan."

"Jaja! Celana dalam gue lengket!"

"Tahan anjing!"

Demikian percakapan kami ketika bersepeda di tengah-tengah hujan deras. Bangsat, memang. Padahal salah dia sendiri yang ngadat ingin main dulu tadi.

"Jaja—"

"Jangan panggil gue Jaja."

"Cebol, anterin gue ke hotel."

"Hotel? Hotel apaan? Open BO lo?"

"Gak anjir. Gue nginep di hotel."

"Ngapain! Lo bukannya ngekos?"

"Lo tau sendiri kenapa gue gak bisa tidur di kosan."

Lalu aku teringat cerita Buntut Kuda tentang pengalamannya lima hari ke belakang. Benar. Di sana tak aman. "Emang hotel lo di mana?"

Buntut Kuda menyebutkan alamatnya.

"Anjir jauh!"

"Kan?"

Aku menggerutu, berpikir sejenak, lalu menghela pasrah. "Nginep di rumah Iqla mau?"

"Serius?"

"Repot buat gue, sih, tapi kalo cuma semalem mah ...." Dulu Hau-Hau juga pernah menginap di rumah Iqla. Alhasil, aku tak bisa tidur semalaman. Bukannya kenapa-kenapa. Aku hanya kepikiran abang si gadis bakal mendadak muncul dan gorok diriku yang sedang ngorok. "Lagian seragam pramuka lo masih ada di rumah gue juga."

Untuk beberapa lama, si Buntut Kuda terdiam. "Ngapain seragam pramuka gue ada di rumah lo?" katanya dengan nada curiga. "Lo ... lo nyolong?"

"Nyolong dengkulmu! Justru lo yang nyolong seragam gue!"

—Zaki

Beberapa menit kemudian, dengan tubuh basah kuyup sampai ke celana dalam, kami berdiri di depan pintu rumahku.

Ibuku memelototiku. "Zaki, kamu ... lesbi?"

Aku bingung mesti menyahut apa. Terlalu banyak yang mesti dikoreksi. "Panjang ceritanya."

"Rangkum jadi satu kalimat."

"...." Aku mengusap wajahku. "Temen aku pengen nginep di rumah Iqla."

"Gak jelasin kenapa kamu pake rok. Lagi."

Dia tak tanya kenapa aku bawa pulang anak cewek malam-malam. Hebat. Aku pikir bagian yang satu itu memang masih terbilang normal ketimbang bagian yang lain. "Panjang ceritanya."

"Rangkum jadi satu kalimat."

"Dia cewek yang seruduk aku."

Ibu menoleh pada Buntut Kuda; Buntut Kuda nyengir. "Halo, Tante," celetuknya tak tahu malu. "Maaf ngerepotin."

"Oh. Gak. Gak repot." Ibuku angkat bahu dengan enteng, lalu balik nyengir. "Kamu mau mandi dulu? Hujan-hujanan begitu. 'Ntar sakit gimana? Ayo masuk."

Aku melangkah maju, tapi tangan ibuku menahanku. "Kamu mandi di rumah Iqla aja."

"Hah! Ngapain—"

"Kamu pengen mandi bareng dia?"

Mayat yang Berjalan (ed. revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang